Senin, 27 Mei 2013

Lulus Ujian, Jangan Corat-Coret Sembarangan

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”(QS. al-Insyirah, 5-6)
Badai pasti berlalu.  Begitulah yang baru saja dialami oleh sebagian pelajar di seluruh Indonesia. Seolah tulang rapuh mereka banting, keringat mereka kucurkan, semua usaha mereka lakukan. Tak lain hanya untuk meraih satu kata, lulus. Setelah kesulitan itu berlalu, maka kegembiraan pun menyambut.
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu beban terberat bagi pelajar. Pasalnya, pendidikan yang ditempuh selama tiga tahun seolah hanya ditentukan oleh ujian yang hanya dilakukan dalam beberapa hari. Agar dapat melewati ujian dengan sukses, mereka pun menempuhnya dengan segala macam cara, dari belajar tak kenal waktu, bahkan kadang sampai ada yang membeli bocoran jawaban.
Akhirnya, jika tidak lulus, ada yang frustasi bahkan ada yang nekad sampai bunuh diri. Tapi bagi mereka yang masih dibekali iman yang kuat, mereka akan bersikukuh untuk bangkit menjadi manusia yang lebih kuat dan tidak patah semangat. Di sisi lain, bagi mereka yang berhasil dan lulus ujian, sebagian dari mereka melakukan amalan kebajikan dan menepati nadzar. Akan tetapi, sebagian dari mereka ada juga yang melampiaskan kegembiraannya dengan mengumbar nafsu dengan melakukan aksi corat-coret baju bahkan berkonvoi liar di jalan raya. Mereka melakukan aksi ini semata-mata untuk mengekspresikan kegembiraannya setelah lulus ujian.
Lantas, apakah tindakan ini dibenarkan? Bagaimanakah yang seharusnya mereka lakukan?
Kalau kita runut, lulus ujian merupakan suatu karunia besar dari Allah. Betapa tidak, kelulusan ini ditempuh dengan susah payah selama menghadapi ujian. Di lain pihak, orang-orang yang tidak lulus akan merana dan frustasi. Oleh karena itu, kelulusan ini merupakan suatu nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang patut disyukuri. So, bagaimana mensyukurinya?
Secara etimologi, syukur adalah berterima kasih pada Allah. Sedangkan secara istilah (terminologi tasawuf), syukur adalah melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya lahir batin, baik dalam bisikan hati, ucapan lisan, maupun refleksi amaliyah badan. Maka, inti dari syukur adalah adanya kesadaran bahwa semua nikmat yang ada pada dirinya berasal dari Allah dan nikmat tersebut tidak digunakan kecuali dalam rangka taat kepada-Nya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1115, Tafsir Qurthubi, VII, l343)
Sedangkan menurut macamnya, bersyukur kepada Allah ada tiga bentuk: pertama, syukur bil qalbi (dengan hati), yaitu mengakui dan menyadari bahwa segala kenikmatan yang diperoleh berasal dari Allah. Ini akan menghantarkan manusia pada rasa rela. Berapa pun nikmat yang diberikan Allah, akan diterima apa adanya. Kedua, syukur bil lisan (dengan lisan), yaitu mengucapkan ungkapan rasa syukur kepada Allah bahwa semua nikmat yang diberikan adalah dari-Nya. Syukur bil lisan ini bisa ditunjukkan salah satunya dengan mengucap Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Ketiga, syukur bil jawarih (dengan amal perbuatan), ialah mengamalkan anggota tubuh untuk hal-hal yang baik dan memanfaatkan nikmat itu sesuai dengan ajaran agama, yaitu menggunakan nikmat sesuai dengan tujuan penciptaannya (Tafsir ar-Razi, III, 21).
Kita pun dapat menilik firman Allah:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, maka Kami akan menambah nikmat padamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.(Q.S. Ibrahim: 7)
Lalu bagaimana dengan mereka yang melakukan konvoi dan coret-coret?
Mengenai corat-coret seragam sekolah dengan cat semprot, spidol, dan sebagainya, telah disinggung di atas bahwa syukur adalah men-tasharuf-kan sesuatu sesuai dengan tujuan penciptaannya. Lantas, apakah seragam ini dibuat untuk dicorat-coret? Apakah cat tersebut dibuat untuk menyemprot seragam? Jawabnya pasti tidak. Seragam dibuat untuk dipakai dalam keadaan bersih dari corat-coret, sedangkan cat dibuat tidak untuk disemprotkan ke baju, tetapi kepada media lain. Jadi, aksi ini bukanlah bentuk syukur sebab tidak menggunakan suatu hal yang sesuai dengan tujuan penciptannya. Juga, perbuatan ini tentu tidak dilakukan dalam rangka taat kepada Allah.
Bahkan, aksi corat-coret tersebut bisa masuk kategori mubazir. Menurut Imam Syafi’i, mubazir adalah menggunakan harta benda kepada selain haknya. Dalam Tafsir Ath-Thabari, disebutkan, mubazir ialah menggunakan harta untuk berbuat maksiat kepada Allah, melakukan sesuatu yang bukan haknya, atau membuat kerusakan. (al-Jami’ Li al-Ahkam al-Quran Lil Qurthubi, I, 3262, Tafsir Ath-Thabari, XVII, 429).
Dalam Surat al-Isra’ ayat 27disebutkan :
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (الاسراء: 27)
Artinya: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu adalah ingkar kepada Tuhanya.
Dari ayat di atas, jelas-jelas mubazir itu dilarang oleh syara’.  Selanjutnya, bagaimana dengan konvoi di jalan raya? Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia dikatakan, konvoi diartikan iring-iringan kendaraan dalam perjalanan yang sama. Dalam prakteknya, konvoi ini dilakukan sampai memenuhi jalan dan bahkan dengan cara yang ugal-ugalan. Sehingga, akan mengganggu jalan. Sementara, jalan yang seharusnya digunakan kepentingan bersama, kini dibuat kacau oleh sekelompok orang yang hanya dengan dalih mengekspresikan kegembiraannya.
Yang jelas, aksi konvoi ini tidak dapat dikategorikan dalam bentuk ungkapan syukur. Lantaran perbuatan ini tidak masuk dalam kriteria syukur, bahkan sebaliknya, aksi yang dapat membuat mudarat pada diri sendiri atau merugikan orang lain, maka hal ini jelas dilarang oleh syara’.
Lebih lanjut, Al-Qur'an memberikan petunjuk mengenai mengekspresikan kegembiraan. Ada gembira yang terpuji dan gembira yang tercela.
Allah berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ الله وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ
Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, handaklah dengan itu mereka bergembira.” (Q.S. Yunus, 58)
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bergembira ketika mendapat karunia dan rahmat dari Allah. Bergembira yang dimaksud di sini ialah merasa gembira lantaran mendapat limpahan karunia dari Allah. Jadi, kegembiraan ini disandarkan kepada Allah. Inilah gembira yang terpuji. Sehingga, kegembiraan ini diungkapkan dengan rasa syukur kepada Dzat yang memberi karunia.
Sedangkan kegembiraan yang tercela ialah merasa gembira dan bangga atas karunia tersebut tanpa merasa bahwa hal tersebut merupakan karunia dari Allah, sehingga menjadikan orang tersebut takabbur dan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran syara’. Hal ini merupakan kegembiraan yang tercela. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
وَإِذَآ أَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً فَرِحُوا بِهَا
Dan apabila kami berikan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan (rahmat) itu. (ar-Rum, 36)
Al-Alusi memberikan penafsiran bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang mendapatkan karunia, lalu ia bergembira karena sombong dan bersuka ria kelewat batas bukan karena memuji kepada Allah dan bersyukur, maka hal ini merupakan kegembiraan yang tercela. (Ruhul Ma’ani, XV, 369).
Sebagai penutup, Al-Ghazali menjelaskan bahwa hal yang dialami manusia ini ada dua macam. Pertama, sesuai dengan apa yang menjadi harapan dan keinginannya, dan  kedua,  tidak sesuai dengan harapannya. Dua hal ini perlu disikapi dengan sabar. Untuk yang pertama, misalnya seseorang mendapatkan kesehatan, keselamatan, harta, jabatan, dan segala macam kebahagiaan duniawi. Kesemuanya ini perlu disikapi dengan sabar. Artinya, jika seseorang tidak membatasi dan menahan diri dari menggunakan karunia tersebut sepuas-puasnya, maka ia dapat terjerumus ke dalam kesombongan dan kezaliman. Oleh karena itu, hendaknya tidak kelewat batas dalam mengekspresikan kegembiraan dengan melakukan berbagai macam kesenangan, hiburan, dan permainan. (Ihya’ Ulum ad-Diin, III, 171)


-----------------------------


Dimuat pada Buletin El-Fajr Edisi III (Ma’had Qudsiyyah)
Mendengar, Memahami dan Memberi Solusi

The “Rule” Of C.I.N.T.A.



Ketika anda membicarakan tentang banyak hal, anda tak akan pernah lepas dari suatu “Rule and Policy”. Begitupun juga sesuatu yang disebut “cinta”, tidak ada pengecualian dalam hal penerapan kaidah yang berlaku di dalam cinta itu sendiri.
Karena kita semua tahu, bahwa surga pecinta dan yang dicinta serta pemilik cinta yang hakiki adalah Allah SWT, maka tentu saja tulisan ini akan membahas mengenai “Rule” kaidah yang ada berdasar “Ayat-ayat Cinta” yang sudah termaktub maupun yang tidak.
Oleh karena itu, maka tidak akan ditemukan dalam kamus cinta dan istilah cinta sejati, suatu kaidah tentang cinta yang out of date, maupun masa cinta yang sudah habis dan akhirnya nonaktif tetapi yang ada adalah loe is endless.
Ketika anda sudah benar-benar bisa merasakan cinta, maka sudah menjadi keharusan dan kepastian bagi anda untuk mempertahankan perasaan cinta itu, seperti dalam suatu lirik lagu, semua ini pasti akan musnah……tetapi tidak cintaku padamu, inilah cinta yang hakiki, ketika anda tak bisa melakukan cinta yang seperti itu, so, that is N.A.F.S.U.
Cinta itu pengorbanan
Bila cinta itu suatu besaran, maka pengorbanan adalah alat ukurnya. Ibarat cinta itu massa, maka pengorbanan adalah neraca dan kadar cinta adalah sesuatu yang ditimbang.
Dari penjelasan di atas, bisa kita ketahui bahwa nilai pengorbanan sendiri sangatlah penting, seperti yang ditunjukkan dalam hadis:
لايؤمن احدكم حتي يحب لاخيه مايحب لنفسه
Atau perkataan J. F. Kennedy:
“Tanyakanlah apa yang kau bisa berikan pada negaramu, dan jangan tanyakan apa yang bisa negaramu berikan padamu”.
Dari hadis nabi dan perkataan J. F. Kennedy tadi, bisa kita istinbath dan istidlal (menghukumi dan mereferensi) bahwa suatu cinta tak kan ada artinya bila tanpa pengorbanan, meskipun hadis nabi dan pendapat J. F. Kennedy tadi berbeda dalam objek, namun bagi kita orang islam, pada hakikatnya segala cinta yang bisa me-wushul kan kita pada Allah SWT adalah cinta kepada Allah yang hakiki dan abadi Love is socri fices, endless socri fices.
Dan kita bisa menghayati kaidah-kaidah tadi kalau kita sudah menydari bahwa:
Cinta itu wajib buta (bold)
Cinta itu wajib, pasti, berhak, dan ora keno ora “buta”, meskipun seakan-akan negatif, tapi kata-kata ini begitu dalam dan penuh makna.
Cinta itu sesuatu yang abstrak dan tidak inderawi, cinta itu hanya didapat dan dirasa lewat hati dan perasaan. Cinta itu sendiri bukan sekedar suka, karena suka itu timbul dari sebuah respek yang diberikan otak terhadap identifikasi yang dilakukan oleh indera.
Penutup
من احب شيأ فهو عبده
Ketika anda menghayati hadis ini, maka seharusnya anda “semakin” menyadari bahwa sang pecinta dan yang di cinta serta pemilik cinta hakiki dan agung adalah allah SWT. Oleh karena itu, untuk menggapai cinta sejati , sudah semestinya kita “menjalankan” cinta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan sang pemiliknya, kalau tidak, berarti seperti telah disebutkan bahwa itu sekedar nafsu belaka. Dan pada akhirnya, bisa kita tarik kesimpulan : to love is as difficult as to be loved. So, are you ready?

Oleh : My Friend M. Nashirul Haq di buletin El Wijhah '11

Menggali Potensi Kreatif di Luar Radar


oleh : M Arief Budiman


Someday, creative industry will lead entire industry – Quotes from IYCEY Presentation, 2006 -

Kita sungguh beruntung bisa hidup di satu masa dimana kreativitas telah diapresiasi dengan tingkat yang luar biasa positif dibanding masa-masa sebelumnya.

Saya masih ingat dengan jelas sekitar sepuluh tahun lalu saat memulai sebuah kantor desain grafis kecil, seorang calon klien protes dengan keras,”Mas, dimana-mana nggak ada yang yang namanya biaya desain. Itu kan gratis jika saya mencetak di tempat situ to? Yang bener aja, desain grafis kok harus dibayar!”

Juga seorang pemilik percetakan yang dengan ‘cerdas’nya berkata,”Biro desain grafis itu hanya broker percetakan. Lebih baik langsung ke percetakan saja, pasti lebih murah. Nanti desainnya kita bikinkan gratis!”


Waktu pun berlalu, dan hari ini biaya selembar desain brosur A4 dua muka bisa mencapai jutaan rupiah. Desain logo bahkan puluhan milyar rupiah. Apresiasi, penghargaan dan kepercayaan masyarakat atas profesi dan industri desain grafis terus meningkat bersamaan dengan gencarnya upaya mengedukasi khalayak tentang ide, kreativitas, desain, hal-hal yang secara bawaan sering disebut intangible.

Pada awalnya, pusat desain grafis adalah Jakarta, tidak perlu dipungkiri. Karena sebagai ibukota, infrastrukturnya paling siap untuk ditumbuhi benih ide dan bisnis desain grafis. Sistem komunikasi (telepon, internet) yang maju, lokasi yang menyatu dengan pusat bisnis dan pemerintahan, klien yang sudah punya budget rutin untuk mengorder, SDM kreatif yang mengumpul bagai laron menerkam cahaya. Semuanya  tersedia, tinggal dimainkan.

Tapi hari ini, situasi seperti di atas segera akan berubah dengan drastis bahkan dramatis. Bagaimana tidak? Dengan kemajuan teknologi internet yang menjangkau ujung dunia (baca: ke pelosok-pelosok desa), orang-orang kreatif kini tak perlu bersusah payah memindahkan dirinya ke Jakarta untuk berkarya dan/atau membangun bisnis desain grafis.



Apalagi dalam bisnis desain grafis dan bisnis ide lainnya tak memerlukan biaya angkut yang mahal (seperti bisnis berbasis produk), desain yang dikerjakan dengan komputer begitu selesai tinggal di-sent via email: beres dah. Diterima real time oleh klien di manapun berada. Proses pembayaran pun serupa. Hari ini tidak aneh jika ada cerita hubungan bisnis yang sukses antara klien dan biro desain grafis selama lima tahun lebih tapi tak pernah ketemu muka, tak pernah kopi darat. Semua transaksi dan pengerjaan selesai di depan komputer.

Potensi Kreatif di Luar Radar

Saya seringkali merasa tidak  enak hati  saat dianggap sebagai orang ‘daerah’ ketika menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Saya merasa Jogja (tempat saya berdomisili) sama dan egaliter dengan Jakarta, bahkan dengan London, Washington, sama juga dengan Sleman, Brosot, Trenggalek, Sumenep.  Paham yang menunjukkan ini pusat itu daerah tidak mendidik kita semua untuk bersikap egaliter, yang merasa berasal dari ‘daerah’ akan cenderung minder dan menganggap yang dari pusat selalu lebih baik. Ini harus segera dibenahi.

Padahal dari wilayah-wilayah di luar radar inilah tersimpan potensi kreatif yang luar biasa dahsyatnya, persis seekor singa perkasa yang sedang tertidur. Sekali kita bisa membangunkannya, dunia desain grafis Indonesia akan mendapatkan manfaat terbesarnya.

Berikut saya akan bahas beberapa hal menyangkut peluang dan tantangan wilayah di luar Jakarta dalam pengembangan industri desain grafis.

Aspek terpenting adalah nilai budaya lokal sebagai potensi luar biasa untuk dikembangkan, dengan keunikan dan kekuatan filosofi-nya yang tak dimiliki oleh kota-kota metropolis yang cenderung meng-global, tak punya lagi pijakan budaya yang kuat selain mengikuti arus besar modernisme. Nilai lokal bisa menjadi oase di tengah kekeringan makna budaya modern, nilai lokal menjadi sumber inspirasi penciptaan karya desain grafis yang kuat maknanya dan tak sekedar keindahan visualnya semata.

Budaya yang bersahabat masih belum banyak tercemari oleh budaya egoisme dan mau menang sendiri menjadi pendukung kuat bagi tumbuhnya komunitas-komunitas kreatif yang terbentuk karena kebutuhan yang sama yang tidak semata-mata berwujud bisnis atau uang. Komunitas seperti ini subur menghiasi Bandung, Jogja, Surabaya juga Bali. Juga titik-titik pertemuan informal di warung, tempat ngopi, lapangan yang bisa didatangi siapapun dan kapanpun untuk berbagi, berdiskusi tersedia dalam jumlah yang cukup dan mudah diakses.

Biaya hidup dan biaya berkarya yang lebih murah membuka peluang untuk menghasilkan suatu sistem bisnis yang unggul creative output-nya dengan harga yang lebih kompetitif. Sekaligus ketersediaan SDM kreatif dari sekolah-sekolah desain grafis yang kini tumbuh makin banyak.

Apalgi perkembangan infrastruktur IT yang telah bergerak dari sekedar komputer rumahan terhubung internet, menjadi laptop nirkabel bahkan gadget seperti handphone, blackberry dan iphone membuat kita bisa berkantor dan mengkreasikan ide di mana saja.  Internet yang menghapus jarak juga membuka pintu-pintu peluang yang luar biasa banyaknya: kita bisa berjualan, bisa memajang karya (pameran), bisa belajar dari tokoh terbaik di dunia, tanpa harus kemana-mana. Apalagi dengan makin menjamurnya situs jejaring (baca: facebook) kita bisa terhubung langsung, sms-an, comment di wall dengan para pimpinan perusahaan, tokoh desain grafis bahkan presiden di ujung jari kita.

Tapi secanggih apapun internet, selengkap apapun informasi di dalamnya, internet takkan pernah bisa menentukan apa cita-cita hidup kita. Apa visi kita ke depan. Tanpa cita-cita yang jelas, sekarang yang terjadi memang akses internet makin meningkat tapi content yang dicari bukan yang membuat kita makin cerdas makin pintar makin bijak, sebagian besar semata-mata hiburan dan pengisi waktu luang semata tanpa nilai tambah yang berarti.

Mengapa Ide-ide Lokal Tidak Berkembang?



Kembali ke bahasan tentang pengembangan ide lokal, jika kita mau bercermin tampaklah bahwa hidup kita telah dikendalikan oleh gengsi, dalam segala bentuknya. Termasuk persetujuan implisit kita tentang kasta-kasta: ini agency Jakarta, itu agency daerah. Perusahaan multinasional, perusahaan nasional, perusahaan lokal. Mentalitas bangsa terjajah telah membuat kita sulit bersikap egaliter, pilihannya hanya arogan (buat yang merasa kelasnya lebih tinggi) atau minder (buat yang tidak percaya diri).

Celakanya, dalam hal pengolahan ide kreatifpun kasusnya gak jauh beda. Dikit-dikit menjurusnya ke stereotip: kalo ide yang global itu begini, yang lokal itu begitu. Kita sendiri yang menyimpan ketakutan dianggap melanggar adat jika tidak seperti kebanyakan orang. Kita terbiasa bersikap inferior, sadar atau tidak sadar.

Memahami kultur yang akan kita angkat menjadi sebuah tema dalam desain grafis adalah hal mutlak yang harus kita kuasai. Tanpa pemahaman yang mendalam, maka proses untuk meng-akulturasikannya dengan aspek global tidak saja bisa mengakibatkan salah persepsi tapi bahkan bisa menjadi bumerang akibat penerimaan negatif target audiens.

Tantangan terbesarnya adalah bagaimana membawa muatan lokal yang begitu unik, menarik agar bisa diterima oleh audiens yang bahkan tidak mengerti secara jelas kultur budaya yang diangkatnya dalam sebuah karya desain grafis.

Karena tidak semua kultur lokal bisa diangkat menjadi bahasa global, ada kemungkinan kultur di suatu daerah bisa bertentangan dengan daerah lain. Contoh kecil: ‘kates’ dalam bahasa Jawa berarti ‘pepaya’, tapi dalam bahasa Sunda berarti ‘pisang’.

Bahkan, yang dianggap baik di suatu komunitas, bisa dianggap sangat buruk di komunitas yang lain. Ketelanjangan di Papua dianggap biasa, tapi jangan coba diterapkan di Aceh, misalnya. Pemahaman atas dua hal ini akan banyak membantu tercapainya proses transformasi pesan yang benar-benar pas pada audiensnya, sehingga tercipta ‘desain grafis plus’, yang pengaruhnya melebar melewati batas-batas lokalitasnya sendiri.


Creativepreneur Sebagai Jalan Keluar

Memunculkan kemandirian saya pikir menjadi fokus penting untuk mulai memberdayakan akademi dan industri desain grafis. Tanpa kemandirian, takkan tumbuh bunga kreativitas yang bermekaran dari seluruh pelosok negeri. Kemajuan takkan pernah dicapai hanya dengan menunggu, berharap pihak lain (pemerintah, kampus, industri) akan datang memberi bantuan untuk menyelesaikan persoalan.

No way! Tidak ada makan siang gratis. Upaya memperkenalkan creativepreneur sebagai enterpreneur (kewirausahaan) yang berbasis kreatif perlu terus dilakukan. Sosialisasi, seminar, workshop, penerbitan buku Success Story, Creative Competition harus terus menerus dilakukan dengan kualitas dan kuantitas yang makin progresif.

Budaya mayoritas masyarakat kita yang memilih hidup aman dengan menjadi pegawai (negeri/swasta) memang akan mempengaruhi proses ini. Inilah tantangannya, segala sesuatu ya memang akan diuji dulu di awal. Berbekal kreativitas, sesungguhnya tak pernah ada yang tak mungkin selama kita yakin dengan jalan yang kita tempuh.

Sejak awal kuliah, bahkan awal sekolah, anak didik diupayakan untuk dibimbing ke arah kemandirian. Di-encourage untuk bikin bisnis sendiri di usia belasan, ditemani dengan kasih sayang saat mengalami kegagalan, dihajar mentalnya agar tidak mudah cengeng dan dibenturkan realitas bisnis yang keras agar kuat otot dan insting bisnisnya. Alumnus perguruan tinggi harus di-upgrade dari sekedar ready to work (menjadi pekerja profesional) menjadi ready to create (menjadi wirausaha).

Manfaatkan Keajaiban Creative Giving



Satu hal lagi yang saya ingin usulkan untuk lebih mengembangkan dunia desain grafis adalah perlunya tokoh-tokoh, orang-orang pintar, praktisi industri kreatif, young entrepeneurs, para mahasiswa desain grafis atau bahkan siapapun untuk mulai berbagi dengan cara-cara kreatif.

Jika kita hanya menunggu pemerintah atau institusi bisnis menyiapkan infrastruktur untuk memajukan dan meningkatkan kecerdasan serta kreativitas anak didik dan para pekerja kreatif kita, waktunya akan terlalu lama dan belum tentu terlaksana. Terlalu banyak barrier, birokrasi dan tetek bengek aturan yang membuat upaya tersebut tidak bisa cepat terimplementasi.

Jadi memaksimalkan kekuatan ‘creative giving’ adalah cara paling praktis yang kita bisa lakukan. Tak usah dengan hal-hal yang besar, kita mulai dari hal-hal kecil dulu. Misalnya: jika kita punya pengetahuan tentang sesuatu hal, segeralah di-share kepada lebih banyak orang lewat blog, milis, facebook, website dan media-media komunikasi gratisan lainnya. Ada yang jago komunikasi, tulislah tentang pengetahuan dan pengalaman komunikasi Anda di dunia bisnis, gratiskan ilmu Anda pada yang membutuhkan, Anda akan jadi makin ahli karena bertambahnya ilmu bukannya makin berkurang.

Mental berkelimpahan, itulah yang kita perlukan. Bukan mental serba kekurangan sehingga saat punya ilmu tertentu kita takut mengajarkannya pada orang lain, takut suatu hari nanti jadi kompetitor, takut suatu hari  nanti ilmunya habis dan kompetitornya lebih pintar dari dia.

Apapun yang kita punya dan sekiranya bermanfaat buat yang lain, segeralah bagikan. Jangan ditunda. Semakin banyak yang bergabung dalam gerakan ini, maka kesenjangan antara mahasiswa di pelosok dan pusat kota akan segera terjembatani. Lanjutkan terus proses memberi, manfaat terbesarnya akan kembali pada yang melakukan bukan hanya pada yang menerima pemberian itu. Dan bayaran Tuhan atas kebaikan yang kita lakukan selalu akan lebih banyak berlipat-lipat dan seringkali dari arah yang tidak kita sangka-sangka.

Kita Mulai Saja dan Benahi Sambil Jalan

Apa yang saya sampaikan ini hanyalah upaya kecil saja. Hanya langkah awal untuk kita semua agar mau dan mampu melihat potensi luar biasa yang tersebar di seluruh muka bumi Indonesia ini, tidak saja dari alamnya yang kaya raya tapi justru dari kreativitas masyarakatnya yang luar biasa meskipun belum banyak tergali secara maksimal.

Meninggalkan kebiasaan lama memang tidak mudah. Selalu ada keraguan ketika memutuskan untuk berubah: keluar dari zona kenyamanan yang biasa kita nikmati setiap hari dan menuju wilayah baru yang asing dan tak terpetakan. Jika keraguan atau ketakutan mulai menyerang, maka tersenyumlah.

Masa depan dunia desain grafis kita akan ditentukan oleh sekelompok minoritas yang ide-ide besarnya semula dianggap asing, tidak wajar bahkan gila. Bukan oleh kerumunan banyak orang, bukan oleh sebuah tim yang lengkap dan solid. Di kisah sukses manapun, cerita ini berulang.



Jadi jangan menunggu untuk memulai. Seorang bijak pernah berkata, resiko terbesar dalam hidup adalah tidak pernah berani mengambil resiko. Dan keteguhan atas sebuah visi di masa depan – kata Goethe – menyimpan kekuatan, kejeniusan dan keajaibannya sendiri.

Saya percaya bahwa ide-ide lokal punya potensi kekuatan luar biasa, justru karena kelokalannya. Ide kreatif yang berangkat dari lokalitas itu jumlahnya jutaan, dan jika diolah maksimal akan menjelma jadi masterpiece berkelas internasional. Keyakinan saya mengatakan industri desain grafis dan industri yang berbasis kreativitas inilah yang akan menjadi kiblat industri yang lain, untuk membuat dunia yang kita tinggali ini menjadi sedikit lebih baik. Pintu untuk menuju ke sana telah terbuka lebar, kita hanya perlu percaya dan merapikan barisan.

Jarak ribuan kilometer akan bisa ditempuh hanya dengan satu langkah, yang terus berulang. Mari kita melangkah sekarang.

Sumber Bacaan : de.ge.i.strip.indonesia.dot.com

5 Akar Kontroversi Perda Syariah


Oleh : Hilmi Abdillah
Perda syariah bukanlah persoalan yang baru keluar belakangan ini, tetapi sudah berlangsung beberapa tahun sebelum ini. Kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengambil kebijakan hukum membuat Pemda sangat produktif dalam mengambil kebijakan publik, di antaranya adalah Perda Syariah.
Pada suatu sisi, ada kelompok Islam menginginkan agar aturan hukum di Indonesia dibuat dengan nuansa Islami, setidaknya bagi umat Islam. Karena problem yang timbul di masyarakat selama ini cenderung disebabkan melemahnya komitmen keagamaan masyarakat dan tidak tegaknya syariat. Di sisi lain, kelompok sekuler dan non-muslim tidak ingin adanya intervensi (campur tangan) agama ke dalam aturan hukum Indonesia. Lahirlah pro-kontra antara dua kutub tersebut.
Akar kotroversi di atas bersumber dari beberapa persoalan berikut ini. Yaitu pandangan terhadap Islam, problem sumber hukum, studi hukum Islam, kontroversi kelompok agamis dan nasionalis,serta kontroversi antar agama. Untuk memperjelas kelima akar kontroversial tersebut, berikut kami uraikan di baawah ini.
Pandangan Terhadap Islam
Perbedaan pandangan dalam melihat Islam,berimplikasi (berhubungan) atas penerimaan adanya Perda Syariah. Ada yang memandang Islam sebagai sistem kehidupan
dan ada pula yang memandang Islam sebagai agama semata.
Bagi yang memandang Islam sebagai sistem kehidupan, menyatakan bahwa hidup di dunia ini diatur oleh satu Maha Pengatur (syari’) yang dapat dipahami dari Alquran dan Hadits. Karena ajaran                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Alquran dan Hadits bersifat universal dan dapat terintegrasi(tergabung) dalam setiap kehidupan, duniawi ataupun ukhrawi.
Dalam Alquran banyak sekali ayat berkenaan dengan tata cara dalam menjalani kehidupan dunia. Cara mengasuh bayi, perkembangan fase manusia, kejadian saat di dalam rahim, adalah sebagian contohnya. Begitu pula aturan kenegaraan, -menurut pendapat ini- juga harus dijajaki dengan hukum Islam yangt bersumber dari dua referensi tersebut.
Dalam pandangan ini, Perda Syariah adalah upaya untuk merealisasikan Islamisasi melalui politik kenegaraan. Dan pandangan ini berusaha menanamkan nuansa Islam dalam aturan hukum. Sehingga kehidupan dapat berputar sesuai harapan.
Bagi yang memandang Islam sebagai agama semata, Islam hanya mengatur tentang proses ritual dan spiritual. Sama seperti agama-agama lain, baik agama samawi (seperti Yahudi dan Nashrani) ataupun agama kebudayaan, yang dapat dilihat dari wilayah kepercayaan (trush), peribadatan (ritual), kerohanian (spiritual), upacara-upacara keagamaan (seremonial).
Islam tidak akan dipakai sebagai dasar pembuatan hukum negara. Walaupun Islam mengajarkan perdamaian, tanpa  selundupan hukum Islam pun negara mampu berdiri dengan damai.
Dalam pandangan ini, Islam tidak ikut campur tangan dalam kenegaraan dan pemerintahan. Islam mengurusi urusan ukhrawi, sedangkan negara adalah urusan duniawi.
Problem Sumber Hukum
Dalam literatur ilmu hukum yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang, adat, traktat (perjanjian antar bangsa), yurisprudensi (putusan hakim), pendapat ahli, dan doktrin. Oleh karena itu, menurut teori ini, pendapat (ijtihad) ulama dan fuqaha mengenai hukum tidak dapat dijadikan landasan. Walaupun ada sumber hukum berupa pandapat ahli, namun yang dimaksud adalah ahli hukum sekuler (keduniaan).
Jika menghadapi hukum dalam konteks kehidupan di masyarakat, hukum agama sering terabaikan. Dan ketika hendak memproduksi hukum, literatur-literatur agama hampir tidak pernah menjadi dasar. Kalaupun literatur agama diikutandilkan ketika hendak mengajukan,akan terkesan adanya intervensi agama ke dalam negara. Karena itulah sebab tidak diterimanya Perda Syariah bagi sebagian kalangan. Perda Syariah bersumber dari ulama, sedangkan negara tidak mengakui ulama sebagai sumber hukum.
Sebenarnya untuk mengentaskan konflik antara agama dan hukum ini telah dilakukan oleh beberapa ahli hukum Indonesia yang berwawasan keagamaan. Namun, belum banyak pengaruh mereka terhadap konsep hukum yang pasti di Indonesia.
Studi Hukum Islam
Bias dikatakan hukum-hukum Islam yang dipelajari diberbagai dimensi hanya bersifat teoritis. Kecuali di beberapa aspek saja, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Pada bab mawarits, ekonomi (muamalah), politik (siyasah), pidana (jinayah), dan lain sebagainya, jarang ditemui dalam realita kehidupan. Sehingga bab-bab tersebut seolah-olah hanya berguna untuk mengisi pelajaran para peserta didik dan menambah materi tes.
Padahal dalam aturan kenegaraan sudah ada undang-undang yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Wakaf. Namun undang-undang ini masih bersifat terbatas dan hanya dalam lingkup tertentu. Belum bisa menyeluruh seperti yang dirinci dalam kitab-kitab fikih.
Karena itu, undang-undang yang berkaitan dengan hukum agama ini akan memperkuat pro Perda Syariah. UUD sebagai tata urutan peraturan tertinggi saja ada yang berkaitan dengan hukum Islam, boleh saja perda, sebagai tata urutan peraturan terdasar juga ada yang berkaitan dengan hukum Islam.
Dan efek yang disebabkan karena hukum Islam yang bersifat teoritis ini adalah seakan-akan hukum tersebut tidak bisa dijadikan undang-undang karena hanya berhenti pada tatanan fikih, tidak direfleksikan dalam kehidupan bernegara.
Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis
Kontroversi antara kedua kelompok ini sudah berlangsung lama, sudah terjadi ketika hendak menyusun dasar negara. Kelompok agamis terdiri dari mereka yang berlatar belakang santri. Dan kelompok nasionalis terdiri dari mereka yang berlatar belakang pendidikan umum. Walaupun sekat antara kedua kelompok tersebut sekarang sudah mulai hilang, namun tetap saja perbedaan pendapat mereka masih mencolok.
Bersangkutan dengan Perda Syariah, kelompok agamis akan memperkokoh terealisasikannya Perda Syariah dalam kehidupan bernegara. Sebagai wujud  kesalehan dan ketaatan. Sedangkan pendapat lain diperkokoh oleh kelompok nasionalis. Mereka tidak ingin ada relevansi (hubungan) agama dengan aturan kenegaraan. Walaupun prakteknya terjadi.
Jauh pada saat perumusan teks Pancasila, para pendiri Negara sudah mempersoalkan hal ini. Asal mula sila pertama berbunyi, ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menuai kontroversi yang kemudian diganti dengan teks, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Karena Indonesia tidak hanya dihuni oleh umat dengan agama yang sama, tetapi dengan macam-macam agama.
Madinah, Negara yanmg dipimpin Rasulullah, tidak hanya ditinggali oleh umat muslim. Nabi tidak pernah menyusupkan aturan agama Islam ke dalam aturan kenegaraan. Umat muslim diatur oleh  syariatnya sendiri, umat non-muslim, juga menjalankan syariatnya sendiri. Nabi hanya menegakkan perdamaian dan kerukunan antar umat bernegara (ukhuwah wathaniyyah). Nabi juga menegakkan prinsip kesederajatan dan keadilan (al musawwah wal ‘adalah). Walaupun penduduknya heterogen, masing-masing mempunyaui kebebasan untuk memeluk agama dan melakukan aktivitasnya.
Begitu kental kontroversi antara kelompok agamis dan nasionalis. Belum lagi dengan munculnya kelompok sekuleris ataupun komunis yang jelas tidak akan setuju dengan adanya Perda bernuansa syariat Islam.
Kontroversi Antar Agama
Walaupun jelas bahwa umat Islam adalah umat mayoritas di Indonesia, bahkan berpresiden muslim, namun untuk memproduk suatu hukum yang bersinggungan dengan agama, umat non-muslim juga memiliki pengaruh. Non-muslim juga tak kalah suara atau pendapat untuk menentukan suatu hukum.
Kontroversi bahkan konflik antar agama juga sudah berlangsung lama. Sampai pernah terjadi tragedi pertumpahan darah di beberapa daerah atau negara. Mundur lagi ke masa Rasulullah, Islam saja dilarang lahir sebagai agama baru, karena dianggap menyingkirkan Tuhan nenek moyang. 
Dari perbedaan ini, muncul juga perbedaan tanggapan berkenaan dengan Perda Syariah, yang bau-baunya bernafas Syariah Islam. Dukungan alot akan muncul dari golongan Islam dengan rujukan kitab-kitab fikih. Sedangkan golongan non-muslim tak akan setuju dengan dominasi Islam di Indonesia.
Bagi masyarakat, Perda Syariah Islam juga akan menimbulkan kesalehan masyarakat hanya bersifat formalitas atau simbolis. Akhirnya seseorang akan merasa dikurung dengan hadirnya Perda Syariah. Padahal manusia seharusnya melaksanakan Islam dengan sepenuh hati. tanpa paksaan. Dalam alquran sudah diterangkan, “Tidak ada paksaan dalam agama”. Tetapi mengapa kemudian muncul sebuah peraturan yang memaksa masyarakat melakukan agama.
Kontroversi ini nampaknya akan terus berlanjut bila tidak dilakukan kompromi-kompromi politik atau kembali ke prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai universal. Dengan dukungan rakyat dan musyawarah secara damai tanpa kecurigaan. Di samping itu dapat juga dilakukan eliminasi atas akar persoalan yang menjadi penyebab kontroversi di atas.
Sebenarnya dan seharusnya, masyarakat Indonesia telah menerima UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar Negara. Maka untuk menyelasaikan kontroversi ini, masyarakat harus kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Di dalammnya, sudah memuat prinsip ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, solidaritas, dan keadilan dalam bernegara.
Dan semoga kontroversi masalah Perda Syariah ini tidak meneteskan darah, memecahkan kaca, atau menyulut api. Semoga hanya masuk dalam sabda nabi, “Kontroversi di antara umatku adalah rahmat”.
sumber:

Minggu, 26 Mei 2013

Forum Tweet

*twitter adalah dunia kebebasanku... 
*dunia imajinasiku... 
*dunia dlam sgala hal yg kusukai...   
                       
                           *) Aan Zt Innovations


Tweet Friendship




Tweet Favorite




Tweet Collections