Jumat, 29 Juli 2011

Just For You El-Wijhah

 
EL WIJHAH TERBANG BERSAMA RAMADHAN
Oleh: Yahya Ubaidillah (XI D)

Dimuat di bulletin El-Wijhah Edisi XXV

eloknya dirimu menyejukkan hati yang gundah
limpahan ampunan dan rahmat terbuka jua
wujudkan kebaikan hilangkan nafsu amarah
indahnya cahayamu seperti la’lau siraaj
jauhkan kegelapan dari gubuk-gubuk yang sunyi
hiasi hati, hindari panasnya hell glow
ajrus shiyam member syafaat itu suatu simbol
haturkan pertolongan pada sang pemberi allowance

Hukum Implan Silikon


Buletin El-Fajr Edisi VI (Ma’had Qudsiyyah)
Mendengar, Memahami dan Memberi Solusi
-----------------------------

Hidup di zaman modern memang gampang-gampang sulit. Berbagai jenis teknologi mampu menguasai dunia. Begitu cepat zaman berubah, dari zaman era sandal jepit kini menjadi era komputer, era telephon ataupun era robot sehingga sangat membantu manusia dalam menjinakkan masalah yang dihadapi manusia.
Belum lama ini, teknologi telah menawarkan alat mutakhir dalam bidang kedokteran yang dapat mengubah atau memperindah tubuh seseorang dengan cara operasi. Seperti operasi khusus mempercantik wajah agar lebih sedap dipandang, operasi selaput dara untuk mengembalikan keperawanan, operasi ganti kelamin, dan semacamnya.
Tidak sedikit orang yang sukses menjalankan operasi. Katakanlah, Malinda Dee, seorang penggelap uang milyaran rupiah, sukses dengan silikon di dalam payudaranya, Dewi Persik, baru-baru ini diberitakan operasi selaput dara. Entahlah apa motifnya, mungkin  agar bisa tampil dengan casing baru, atau dengan alasan-alasan lain. Dan ternyata masih banyak contoh lain. Yang jelas, motif mereka untuk melakukan hal itu tentu berbeda-beda, sesuai dengan yang mereka butuhkan.
Maka dari itu, bagaimana fiqh menanggapi fenomena ini?
Sebelumnya kita bisa berangkat dari sebuah ayat:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Dan aku (setan) benar-benar akan menyesatkan mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong mereka dan akan menyuruh mereka (memotong teliga-telinga binatang ternak) lalu mereka benar-benar memotongnya dan aku akan perintah mereka (mengubah ciptaan Allah) lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barang siapa menjadikan setan pelindung selain Allah maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.(QS. an-Nisa': 119)

Kita bisa petik dari cuplikan ayat tadi sebuah kalimat falayughayyirunna khalqallah. Ada dua tafsiran mengenai kalimat tadi. Pertama, mengubah ciptaan Allah, artinya mengubah agama (ad-din) Allah. Bisa jadi mengubah agama Allah di sini adalah perubahan agama secara total, atau dalam arti ganti kelir (murtad), atau juga diartikan menghalalkan barang haram dan sebaliknya mengharamkan barang halal. Jika berangkat dari tafsiran ini –khalqullah diartikan diinullah--jelas tidak akan ada hubungannya dengan pembahasan ini.
Sedang tafsiran yang kedua ialah, mengubah ciptaan Allah berupa anggota luar tubuh manusia atau sifat-sifat dasar manusia seperti mengebiri, membutakan mata dan memotong telinga.(Tafsir an-Naisaaburiy, III, 79, al-Bahr al-Mukhith, IV, 282)
Dari sinilah kita mulai pembahasan. Banyak ulama-ulama yang mengutarakan pendapatnya tentang taghayyur ini. Salah satunya ialah Abu Ja'far at-Thabari. Ia mengatakan bahwa tidak boleh mengubah suatu yang diciptakan Allah pada seseorang dengan menambah atau mengurangi. Contoh, jika ada seseorang yang mempunyai anggota tubuh yang lebih banyak dari normalnya maka dia tidak diperbolehkan memotongnya, karena termasuk taghyiiru khalqillah (mengubah ciptaan Allah). Atau juga dia mempunyai gigi yang terlalu panjang maka tidak boleh memendekkannya. Tapi al-Qadli 'Iyadl menambahi bahwa pemotongan tersebut hukumnya boleh jika kelebihan anggota tadi membebani padanya. Juga ada yang mengatakan bahwa taghyir di sini bukanlah mengubah yang bersifat selamanya. Apabila perubahan itu bersifat sementara seperti eyeliner (celak) atau kosmetik lain maka diperbolehkan menurut Imam Malik dan ulama-ulama lain. (Nailul Author, X, 156)
Dalam kitab Fatawa al-Azhar diceritakan, seseorang mempunyai anak yang di tangannya ada jari tambahan. Dia membiarkannya sampai usia 5 tahun. Pada saat itu dia melihat anaknya dicemooh oleh teman-temannya. Karena tangannya yang tidak normal. Lalu dia menanyakannya, apakah jika aku memotong jari itu hukumnya haram? Jawabannya tidak. Karena menghilangkan semacam jari atau gigi tambahan itu bukan termasuk taghyir yang diterangakan ayat tadi melainkan yang dimaksud adalah taghyir yang bermotif memperindah atau mempercantik ciptaan Allah. (Fatawa al-Azhar, X, 268)     
Lalu bagaimana dengan Hadits Nabi yang melarang membuat tato dan menyambung rambut?
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
Allah melaknati perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan rambutnya dan perempuan pembuat tato dan yang minta dibuatkan tato.(HR. Imam Bukhari. Hadits Shahih)
Hadits ini sudah jelas melarang orang yang memasang rambut dan membuat tato. Jelas di dalamnya ada bentuk taghyir dalam mengubah warna kulit. Adapun menyambung rambut bukan termasuk taghyir. Tetapi di dalamnya ada komponen berupa tadlis (pemalsuan) dan gharar (penipuan). Perbuatan ini juga bisa menarik ke perbuatan zina. Hal ini kelihatan indah, tapi kenyataanya, tidak seindah dlahirnya. Bagai buah kedondong, kulitnya mulus, namun isinya berduri.
Ada juga lho, perubahan yang tidak termasuk dalam taghyir (diperbolehkan oleh Allah secara nash), yaitu khitan, memotong rambut, memotong kuku, dan pelubangan telinga bagi wanita. perubahan ini diperbolehkan karena memiliki faedah tersendiri. Yang pertama khitan yang berfaedah di bidang kedokteran, yaitu mengantisipasi datangnya penyakit yang disebabkan berkumpulnya kotoran-kotoran atau najis-najis di khasyafah (kulup), mengurangi syahwat, dll.
Sedangkan memotong rambut untuk mengurangi resiko bahaya dan penyakit. Dan memotong kuku agar memudahkan pekerjaan yang menggunakan tangan. Misalnya mengangkat benda-benda, maka akan menjadi sulit jika di jarinya tumbuh kuku yang panjang. Faedah potong kuku yang lain ialah merupakan salah satu upaya menghindari penyakit. Dan pelubangan telinga untuk wanita yang dipergunakan sebagai pemasangan anting dan berhias. (at-Tahrir Wa at-Tanwir, IV, 258)    
Ada pengecualian dalam taghyir, yaitu jika taghyir tersebut bertujuan untuk pengobatan suatu penyakit, maka hukumnya tidak haram. (Nailul Author, X, 156)
Sekarang bagaimana dengan pemasangan silikon?
Silikon adalah polimer non organik yang bervariasi, dari cairan, gel, karet, hingga sejenis plastik keras. Beberapa karakteristik silikon antara lain tak berbau, tak berwarna, kedap air serta tak rusak akibat bahan kimia dan proses oksidasi, tahan dalam suhu tinggi serta tidak dapat meghantarkan listrik. Dalm dunia kedokteran modern, silikon dikategorikan sebagai bahan terbaik untuk melakukan perbaikan bagian tubuh, karena penolakan jaringan tubuh terhadap silikon tergolong rendah.
Pemasangan silikon, baik di hidung, bibir, payudara, atau anggota tubuh lain termasuk dalam kategori taghyir. Karena itu hukumnya diharamkan jika memang hanya diniatkan untuk membuat tambahnya sensualitas tubuh. Sedang jika memiliki tujuan lain seperti yang tersurat di atas, maka diperbolehkan.
Jadi, hukum taghyir tersebut tergantung dengan tujuan si pelakunya. Jika taghyir tersebut bertujuan untuk hal yang berfaedah seperti halnya pengobatan atau mengembalikan ciptaan Allah ke normalnya maka hal itu diperbolehkan. Tapi jika hanya untuk memoles tubuh saja agar bisa dipamerkan maka itu tidak diperbolehkan. Apalagi sampai mengubah fitrah manusia, yang asalnya perempuan diubah menjadi laki-laki, atau sebaliknya, laki-laki diubah menjadi perempuan. [eLFa]

Gratifikasi, Hibah atau Suap?


Buletin El-Fajr Edisi V (Ma’had Qudsiyyah)
Mendengar, Memahami dan Memberi Solusi
-----------------------------

Pada beberapa hari terakhir ini, kita mungkin terus mengelus dada setiap kali membaca , mendengarkan atau menonton berita yang ditayangkan di berbagai media. Bagaimana tidak? setiap hari atau mungkin setiap kali acara berita, selalu muncul berita tentang kasus suap.
Ya, kata-kata suap sekarang memang seakan tidak lagi tabu untuk diperbincangkan dan didengarkan. Penyebabnya?, tentu saja karena mungkin kasus ini sudah terlalu sering terjadi di negeri ini, bahkan mungkin sudah merebak dimana-mana, dalam berbagai jabatan, dan tingkatan.
            Nama-nama seperti SBY, Mahfud MD ataupun Nazaruddin memang sering muncul dalam pemberitaan akhir-akhir ini, bahkan seringkali menjadi hot news dan headline di berbagai media. Selain itu kasus inipun menyita perhatian khalayak ramai di seantero negeri. Dan inti pemberitaannya hanya satu, dan itu lagi-lagi  dugaan suap.
            Pada kasus terakhir ini, peran aktor utama tertuju pada M. Nazaruddin, seorang anggota Komisi X DPR RI, yang diduga  melakukan korupsi dana pembangunan asrama atlet SEA Games XXVI di Palembang. Selain itu untuk mengamankan kasus korupsinya ia kembali diduga melakukan aksi suap terhadap sekretaris menpora, Wafid ... dan sekjen MK, Janedri M. Gaffar.(Jawa Pos, Senin, 23 Mei 2011)
       Pada edisi kali ini, kita hanya akan menyorot kasus ‘dugaan suap’ tersebut beserta pandangan islam terhadap masalah ini.
Mari kita bahas dengan seksama!!!
Bila kita amati sekilas, kasus Nazaruddin ini bisa digolongkan sebagai salah satu dari : suap, hibah, hadiah dan shodaqoh.
Suap sendiri berarti uang sogok, sedangkan gratifikasi berarti uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Di lain sisi, fiqh klasik mengartikan shodaqoh sebagai pemberian yang bertujuan mendapat pahala. Sementara pemberian yang dimaksudkan penghargaan dan penghormatan atas prestasi seseorang disebut hadiah (baik bertujuan  mendapat pahala atau tidak). Dan hibah berarti pemberian seseorang yang bersifat umum. Shodaqoh dan hadiah juga bisa digolongkan sebagai hibah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hasyiyah al-Jamal, V, 60, Raudlatu at-Talibin, II, 270)
Imam Ghazali berpendapat dalam kitab Ihya’nya bahwa jika harta tersebut diniatkan karena tujuan akhirat maka disebut shodaqoh. Jika diniatkan dengan tujuan dunia maka ada kalanya berupa harta disebut hibah, dengan catatan, bahwa dia melakukan tersebut karena ingin mendapatkan sesuatu atau ‘udang di balik batu’. Dan ada kalanya berupa amal perbuatan. Jika amal tersebut perbuatan haram atau kewajiban tertentu maka disebut risywah (suap). Dan jika perbuatan jaiz (mubah) maka ijaroh (sewa) atau ju’alah (sayembara) dan adakalanya untuk taqorrub (lebih dekat) kepada yang diberi. Apabila atas dirinya sendiri maka hadiah. Apabila karena kehormatannya ada dua jika penghormatan karena ilmu atau nasab maka juga disebut hadiah. Apabila karena keputusan atau perbuatan (timbal balik) maka disebut risywah. (Raudlatu at-Thalibiin Wa ‘Umdah al-Muftiin, IV, 132).
Suatu pemberian tersebut (hibah) juga mempunyai syarat dan rukun yaitu shighot, aqid dan barang yang diberikan  dengan ketentuan-ketentuan seperti akad jual beli.
Dalam literatur klasik tidak ditemukan tentang konsep gratifikasi, yang ada hanyalah  hibah, hadiah, shodaqoh dan suap (yang diasumsikan sebagai risywah). Namun, gratifikasi sendiri pada hakikatnya juga merupakan hibah.
Sedangkan pengertian risywah adalah menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang (hakim/selain hakim), agar memberi sebuah keputusan secara tidak benar sesuai dengan kehendak si pemberi demi kepentingan individu, kelompok, maupun golongan lain. Adapun hukum memberikan uang risywah tersebut adalah tidak boleh (haram). (Asna al-Mathallib, XXII, 203, Fatawa as-Subkiy, I, 604-605).
Bahkan dalam hadits disebutkan:
لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم . رواه ابن حبان وغيره وصححه
Artinya: Allah melaknati orang yang meyuap dan yang disuap yang banyak terjadi pada masalah hukum. (Asna al-Mathallib, XXII, 203)

Walaupun ada pula suap yang diperbolehkan yaitu jika suap tersebut dimaksudkan untuk hal yang baik. Seperti memberi suap agar menghukumi dengan adil. Maka hokum memberi suapnya boleh, tetapi hokum menerima suap tersebut haram. (Hasyiyah al-Jamal, XXIII, 140)
Kasus yang menarik ini juga mendapat berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Ketua MK, Mahfud MD ketika ditanya oleh seorang wartawan tentang pendapatnya terhadap kasus ini dan mengapa ia tidak melaporkan kasus dugaan suap yang melibatkan anak buahnya ini ke KPK, ia menjawab bahwa hal ini hanya sebuah gratifikasi dan sekedar pelanggaran etika. Ia juga berpendapat bahwa kasus ini bukan merupakan suap karena memang belum ada bukti kuat yang mengarah kesitu (suap). Ia berpendapat seperti itu karena memang hingga saat ini kasus korupsi yang dilakukan oleh Nazaruddin belum terbukti, sehingga ia hanya melaporkannya pada SBY, selaku pembina Partai Demokrat-partai yang meloloskan Nazaruddin sebagai anggota DPR. Namun tak bisa diingkari bahwa memang ada indikasi suap pada kasus ini.
Selain itu, ia juga beralasan bahwa bila kasus ini dibawa ke KPK, tidak ada tindak lanjutnya dan hanya muncul perdebatan apakah uang gratifikasi itu boleh diambil atau tidak, dan kasus ini akan menguap dengan sendirinya oleh persoalan-persoalan yang akan muncul di kemudian hari. (www.republika.co.id)
Namun hal ini ditentang oleh Ruhut Sitompul, rekan separtai Nazaruddin. Ia menyatakan bahwa ia menyesalkan tindakan Mahfud MD yang melaporkan kasus ini kepada SBY bukan pada KPK. Menurutnya kasus ini sudah merambah pada ranah hukum dan bukan hanya sebagai pelanggaran etika.
Dalam kasus ini memang agak sulit dibedakan apakah  termasuk gratifikasi ataukah suap. Dalam keputusan Munas ‘alim ‘ ulama’ NU tahun 2002 sudah dijelaskan  bila terjadi kasus seperti ini. Pada rumusannya disebutkan bahwa boleh memberikan uang kepada orang yang sudah biasa diberi tapi dalam jumlah kecil dan tidak lebih besar (melebihi) apa yang diperbuatnya. Dalam hal hibah atau hadiah yang diberikan oleh orang yang sebelumnya sudah biasa memberi dan jumlahnya pun tidak lebih besar dari biasanya, maka hukumnya mubah (boleh), karena hal tersebut masuk dalam konteks hibah (Keputusan Munas 2002)
Pada akhirnya, ‘menurut pandangan Islam’ kasus itu memang kembali pada Nazaruddin secara pribadi, apakah uang itu dimaksudkan sebagai hibah ataukah suap.  Jika Nazaruddin bermaksud untuk mempunyai keinginan tertentu, baik kepentingan pribadi (individu), kelompok, maupun orang lain maka bisa juga berubah menjadi risywah (sogok/suap). Namun pada kasus ini memang ada indikasi ke arah suap.
Setelah mengetahui hukum suap tadi, maka mari bersama-sama kita berantas segala bentuk suap dan korupsi yang merupakan perampasan hak-hak rakyat. Penyakit ini seakan sudah menjadi suatu akar berbagai persoalan bangsa. Maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mencegah perbuatan ini semakin berkembang dengan cara menghindarkan diri dan generasi muda dari perbuatan-perbuatan ini.




      



Masuk Warnet, Jangan Maksiat!


Buletin El-Fajr Edisi IV (Ma’had Qudsiyyah)
Mendengar, Memahami dan Memberi Solusi
-----------------------------

Masih ingat salah seorang anggota DPR RI yang tertangkap basah nonton video porno saat sidang paripurna di Jakarta 8 April lalu. Kejadian ini menggegerkan warga yang berakhir dengan pengundurkan dirinya dari kursi legislatif. Nah, itulah salah satu kasus dari dampak negatif teknologi. Kita dapat melihat, teknologi sekarang ini sudah sangat maju di belahan dunia manapun. Sehingga, dunia ini bagai tanpa sekat, lebih-lebih bila internet menghubungkannya.
Internet merupakan sebuah sistem komunikasi global yang menghubungkan komputer dan jaringannya di seluruh dunia. Jika kita amati, internet mengandung beberapa hal. Misalnya hal-hal yang positif seperti sebagai media pendidikan, dakwah, dan lain sebagainya. Selain itu ada juga hal-hal negatif, seperti dipergunakan untuk menonton film atau gambar-gambar pornografi.
Pada dasarnya menonton pornografi dapat membangkitkan syahwat. Dalam ushul fiqh hal ini masuk dalam konsep sadd al dzari’ah (menutup jalan yang bisa mengarah pada kerusakan). Sehingga secara umum menonton pornografi hukumnya haram. Keharaman ini karena perbuatan tersebut diduga kuat mengandung mafsadah. Orang yang menonton pornografi ini diduga kuat selalu bangkit syahwatnya yang seringkali mengakibatkan timbulnya perzinahan yang dilarang dalam Islam. (Ushul Fiqh Abu Zahroh, 291)
Dalam kondisi tertentu, perbuatan ini memang diperbolehkan jika ada keperluan syar’i, yakni keperluan yang dibenarkan secara syariat. Misalnya pihak berwenang (polisi dan hakim) diperbolehkan melihat pornografi saat melakukan pemeriksaan dan penyidikan. Juga, dibenarkan dalam fiqh, laki-laki melihat aurat perempuan ketika ada hajat. Seperti dalam hal pengobatan, persaksian zina, persaksian kelahiran, dan persaksian penyusuan. Bahkan dalam persaksian zina dan persaksian kelahiran diperbolehkan melihat kemaluan wanita yang bersangkutan. (Raudhah al Thalibin, II, 458)
Internet sendiri, penggunaannya semakin meluas, mulai dari anak di bawah umur sampai orang dewasa, bahkan orang tua. Tidak heran jika hal ini menjadi peluang usaha yang cukup menjanjikan. Semakin banyak orang yang membutukan internet, maka warnet (warung internet) pun semakin menjamur.
Pada dasarnya warnet  disediakan untuk membantu menjelajahi dunia maya, sedang apa yang ada di dunia maya tersebut ada yang baik dan ada yang buruk, ada maslahat dan ada pula maksiyat. Demikian pula si pengguna warnet, mereka tidak hanya orang-orang yang baik dengan niat baik, tapi ada pula orang-orang yang berniat tidak baik. Lantas bagaimana fiqh memotret fenomena ini?
Dimulai dari transaksi penggunaan warnet, dalam literatur fiqh, transaksi ini masuk dalam kategori akad ijârah (sewa). Pengertiannya, ijârah adalah memberikan kemanfaatan dengan menerima ganti/upah dan dengan syarat-syarat tertentu. (Fathul Mu’in, III, 129, Hâsyiyah al-Jamal, XIV, 308)
Adapun syarat-syarat tersebut, Pertama, barang/jasa yang disewakan harus diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ini berupa layanan jasa internet bagi user (pengguna). Kedua, biaya/upahnya harus transparan. Tarif penggunaan internet harus transparan, yaitu biaya perjamnya sudah ditentukan dan dihitung berdasarkan durasi waktu yang ada. Dan yang terakhir, rentang waktu pemanfaatan barang yang disewakan harus jelas (diketahui oleh kedua belah pihak) karena waktu ditunjukkan oleh mesin penghitung maka keduanya sama-sama mengetahui tentang waktu pemakaianya (Tuhfatul Fuqahâ’, II, 347)
Selain itu, ijârah memiliki beberapa rukun yaitu shighat, ujrah, manfaat dan ‘aqid. Shighat adalah ijab qabul. Bentuk shighat secara umum memang harus melalui lisan tapi bisa juga menggunakan isyarat, tulisan atau kebiasaaan yang sudah dimaklumi oleh kedua belah pihak (Asna al-Mathallib, XII, 77). Rukun yang pertama kiranya sudah terpenuhi karena ketika operator warnet menyediakan warnetnya, berarti sudah menyatakan warnetnya ini disewakan. Kemudian dari pihak user, dirinya masuk ke dalam warnet dan menggunakan, disertai dengan mengetahui besar biaya pembayarannya, menunjukkan bahwa dia setuju dengan penyewaan itu.
Kedua, ujrah (upah/biaya sewa) disyaratkan harus diketahui oleh keduanya juga (Raudlatu at-Thalibin, II, 206). Ketiga, adanya manfaat (kegunaan benda yang disewakan). Adapun syarat dari pemanfaatan barang tersebut harus merupakan barang yang bernilai, tidak habis ‘ain-nya (bendanya) bila dipakai, dan manfaatnya harus sampai kepada penyewa. (Raudlatu at-Thalibin, II, 207-208). Keempat yaitu aqid, meliputi mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa). Keduanya harus berakal dan baligh. Jadi kesimpulannya, mu’jir dan musta’jir tidaklah boleh orang yang tidak berakal seperti orang gila dan tidak pula orang yang belum baligh seperti anak kecil.(Raudlatu at-Thalibin, II, 206) 
Kemudian bagaimana hukum menyewakan warnet tersebut, padahal ada potensi digunakan untuk kemaksiatan? Begini, jika pemilik berkeyakinan atau mempunyai dugaan kuat akan digunakan untuk kemaksiatan, maka haram menyewakannya. Tapi jika operator warnet masih syak (ragu) akan digunakannya untuk proses kemaksiatan, maka makruh hukumnya, tapi kalau telah diketahui sudah banyak terjadi kemaksiatan maka hukumnya berubah menjadi haram secara mutlak dikarenakan saddan lidz dzarâi’ (mencegah sebelum terjadi). (Bughyatul Mustarsyidin, 126).
Selanjutnya, bagaiman hukum operator warnet mengawasi para user untuk memastikan adanya kemaksiatan di dalam bilik warnet? Mengenai ini, hukumnya di-tafshil (dirinci). Jika  operator warnet meyakini atau menduga kuat bahwa ada unsur kemaksiatan, maka wajib untuk mengawasi dan mengingatkan konsumen untuk tidak melakukan hal tersebut seperti melakukan perbuatan mesum atau menonton film berbau porno. Ini dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Namun, bila tidak diyakini atau diduga kuat, maka operator warnet tidak diperkenankan memantau para konsumen. Hal ini didasarkan pada belum jelasnya kemungkaran yang terjadi di dalam warnet. Dan bisa-bisa ini akan menimbulkan tajassus (membahas dan meneliti aib orang lain). (Sulam at-Taufiq, 79, Bughyatul Mustarsyidin, 250; I’anatu at-Thalibin, IV, 308; Ihya’ Ulum ad-Din, IV, 389; Al Bajuriy Ala Ibnil Qasim Al Ghaziy, II, 04).
Nah, kalau sudah diketahui terjadi kemaksiatan, lalu apakah si pemilik warnet ikut bertanggung jawab, padahal dia belum tentu tahu tentang adanya kemaksiatan tersebut? Memang, kemaksiatan di negeri ini cocok dengan kata pepatah “mati satu tumbuh seribu”. Satu tumbuh, dibasmi, tumbuh lagi, dibasmi, tumbuh lagi. Di saat seperti ini, gimana enggak membuat gerah si pemilik warnet? Secara moral, seharusnya  pemilik warnet ikut bertanggung jawab atas semua kelakuan user di warnet miliknya baik itu berupa kelakuan baik maupun tercela. Di sisi lain, kita sebagai konsumen, jangan hanya menyalahkan penyediaan warnet ini. Tetapi yang perlu kita lakukan adalah ikut menjaga kenyamanan dan keamanan di dalam warnet, bukan malah menambah angka kemaksiatan.
Pemilik warnet pun jangan hanya berpangku tangan atau malah acuh tak acuh terhadap maraknya kemaksiatan di warnet miliknya. Apalagi pemilik warnet malah menganggap hal itu sebagai wahana untuk mengeruk keuntungan yang berlipat ganda dengan memfasilitasi user untuk melakukan kemaksiatan, misalnya dengan memberikan bilik yang tertutup rapat sehingga memberikan kesempatan user tanpa malu-malu melakukan kemaksiatan. Jika kemaksiatan di warnet ini dibiarkan, pastinya akan semakin mengakar dan semakin marak.
Sebaiknya sikap yang harus diambil oleh si pemilik warnet adalah senantiasa mengawasi konsumennya. Pencegahan ini tidak harus dengan peniadaan bilik sama sekali, karena bilik juga penting untuk menjaga privasi konsumen itu. Paling tidak, bilik yang dipasang tidak tertutup rapat dan masih memungkinkan bagi penjaga warnet untuk mengontrol dari luar. Penjagaan juga bisa dengan pemasangan CCTV (Closed Circuit Television) di dalam ruangan warnet. Cara ini dianggap ampuh, karena si pemilik bisa mengawasi seluruh isi warnet tanpa harus mengganggu privasi konsumen. Atau bisa juga dengan pemberian software anti-pornografi pada setiap website-website yang dibuka konsumen. Dengan begini kenakalan konsumen yang sering membuka situs-situs porno bisa diminimalisasi. Bukankah lebih baik mendapatkan untung dari sesuatu yang halal dari pada untung banyak tapi dari hasil yang haram? [eLFa]

Bom Bunuh Diri, Perang Dalam Cermin


Dimuat di Buletin El-Fajr Edisi I perdana (Ma’had Qudsiyyah)
Mendengar, Memahami dan Memberi Solusi
-----------------------------

Mati satu tumbuh seribu. Pepatah ini agaknya cocok untuk mengilustrasikan rentetan peristiwa berdarah di Indonesia. Satu bom dijinakkan, bom yang lain diledakkan. Satu tersangka terbunuh, kader baru tumbuh. Satu teknik terbongkar, muncul teknik baru yang lebih segar. Jika bom Bali I diledakkan melalui timer dan remote, maka selanjutnya dilakukan dengan bom buku dan bom bunuh diri. Sebut saja peristiwa Paddy’s Cafe dan Sari Club Bali tahun 2002,  JW Mariott Mega Kuningan tahun 2003 dan ditambah Ritz Carlton pada 17 Juli 2009. Yang masih segar dalam benak kita, kasus Muhammad Syarif yang meledakkan dirinya di Masjid Polwiltabes Cirebon beberapa waktu yang lalu.
Mengapa semua ini harus terjadi? Ada banyak jawaban dan penjelasan, tetapi agaknya belum menyentuh substansi persoalan. Ilmuan sosial menganggap ini sebagai patologi sosial yang dipicu oleh ketidakadilan, para politisi menganggap sebagai kegagalan sistem politik dan demokrasi, para ekonom menganggap sebagai penghambat investasi, dan kaum agamawan menganggapnya sebagai problem penafsiran. Masing-masing pihak senyatanya belum menemukan formula yang pas untuk memposisikan agama dalam banjir peradaban modern. Sebagian imun, yang lain amin, dan satunya lagi 'tidak tahu' harus bagaimana.
Menurut anggapan pelaku, bom bunuh diri adalah salah satu bentuk jihad melawan kedhaliman dan memerangi orang kafir demi tegaknya izzul Islam wal muslimin.  Pada dasarnya, prinsip tersebut betul. Setiap kita harus berjuang melawan ketidakadilan dan memerangi kedhaliman. Masalahnya kemudian adalah dengan cara apa cita ideal itu dicapai? Bolehkah menggunakan cara-cara kekerasan?
Belajar kepada Nabi Muhammad, beliau memberi contoh kepada kita untuk menyelesaikan persoalan dengan perilaku santun, bukan hanya kepada kawan, bahkan terhadap lawan. Besarnya Islam tidak karena keangkuhan, tapi karena kelembutan. Nabi Muhammad hadir di bumi bukan untuk membunuh mereka yang salah, tapi untuk menyempurnakan akhlak mereka.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- :« إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ »
“Bahwasanya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak”
Al-akhlaqul al-karimah didedikasikan untuk kebesaran Islam itu sendiri sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan, nilai kemanusiaan, memberi rasa aman, menganjurkan perdamaian, menentang penindasan, kesewenang-wenangan dan segala bentuk ketidakadilan.
Namun, kadang-kadang, untuk melaksanakan semua ini tidak cukup hanya dengan himbauan moral belaka, akan tetapi butuh tindakan nyata. Tindakan inilah yang sering disebut jihad. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa jihad ialah keseriusan untuk mencurahkan potensi demi menegakkan ‘kalimatullah’ sehingga menemukan kebahagiaan di sisi-Nya. Caranya, sebagaimana dikatakan Ismail Al Bursuwy, adalah dengan membuang jauh-jauh sifat egoisme sehingga jihad benar-benar dalam kerangka agama, bukan bias nafsu. Dari sinilah kita bisa memahami tafsiran al-Qurtubi bahwa ada banyak ragam jihad, seperti berjuang untuk menegakkan kebenaran, melawan hawa nafsu, mencegah kemungkaran dan menolak kekufuran. (Bidayah Al Mujtahid, I, 259; Ruhul Bayan, II, 388, Al-Jami’ Li Ahkaamil Qur’an, I, 3800)
Singkatnya, kata ‘Jihad’ mengandung dua makna; esoteris (batin) dan eksoteris (lahir). Yang pertama menunjukkan serangkaian perlawanan terhadap sesuatu yang tidak nampak secara fisik, seperti melawan kebodohan dan melawan hawa nafsu. Dalam konteks ini, bahasa yang sering dipakai untuk melawan kebodohan adalah ijtihad dan mujahadah untuk melawan nafsu. Sedang makna eksoteris menunjuk pada serangkaian perlawanan kepada musuh yang kasat mata, seperti melawan orang kafir, munafik dan orang-orang murtad. (Tafsir Ayat Ahkam, 95)
 Kebenaran prinsip di atas bukanlah teori belaka. Fakta sejarah membuktikan bahwa selama tiga belas tahun di Makkah, Nabi dan pengikutnya selalu menganjurkan perdamaian, menebarkan kasih sayang dan menjunjung tinggi nilai keadilan. Akan tetapi, selama itu pula mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil;  dihina, disiksa, dipinggirkan, dan diperlakukan secara tidak manusiawi.
Dalam kondisi seperti ini, Nabi sadar, bahwa konfrontasi fisik bukanlah jalan keluar yang baik. Untuk menata sebuah peradaban, yang diperlukan bukanlah kekuatan senjata, tapi penataan sistem nilai. Oleh karenanya, pilihan Nabi bukanlah perang, tapi berhijrah. Hijrah bukanlah sekedar proyek perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan tetapi menyiratkan sebuah pandangan ontologis, yakni proses terbentuknya sebuah komunitas muslim dari tradisi pagan (berhala) ke tradisi tauhid yang kemudian dikenal dengan konsep ‘Ummah’. Konsep Ummah dalam Islam mengandung 5 nilai dan 4 sifat dasar. Lima nilai tersebut adalah universalisme, egalitarianisme, non etnosentrisme, totalitarianisme, dan transendentalisme. Sedangkan 4 nilai dasarnya adalah komprehensif, kontekstualis, dinamis dan organis. (Kewargaan Dalam Islam, 132; Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, 219; Sejarah Sosial Ummat Islam, 39)
Pembentukan komunitas bersama (Ummah) di Madinah, bukanlah sesuatu  yang lahir secara mengalir, tetapi melalui sejumlah perjuangan yang dihiasi oleh hiruk-pikuk pengorbanan. Kekhawatiran akan semakin besarnya pengaruh ideologi Nabi Muhammad telah menyebabkan kepanikan di pihak paganisme Quraish. Mereka lalu mencari-cari alasan untuk memerangi Nabi Muhammad. Dari tiga peristiwa perang besar Badar, Uhud, dan Khandaq terlihat bahwa pemicu perang adalah kekhawatiran akan eksistensi Islam yang semakin kuat. Sebuah sikap yang mengisyaratkan pertarungan idelogi tauhid melawan syirik, kebenaran melawan kebatilan. Karena itulah, ayat yang pertama kali turun dalam konteks perang adalah surat al-Hajj ayat 39
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”
Legalitas perang diatas, secara ontologis, melahirkan dua visi besar. Pertama, menegakkan idealisme Islam untuk memberantas ketidakadilan. Dalam konteks inilah sering bias antara Islam dengan teror. Kata ‘teror’ berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti menjadikan gemetar dan ngeri. Dalam istilah umum teror berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman. Jadi makna terorisme adalah paham yang menggunakan kekerasan, kengerian, dan ketakutan untuk mencapai tujuan tertentu. Islam jelas tidak dalam posisi ini. Dalam al-Qu’an memang ada kata nadzir (menakuti), namun konteksnya bukan meneror warga, tapi memberi peringatan atas pedihnya siksa neraka bagi para pembangkang. Hal ini termaktub dalam ayat Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 119

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ
Sungguh Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan engkau tidak akan dimintai (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.
 Kedua, visi pembentukan peradaban. Pembangunan sebuah kota tidak bisa dilepaskan dari moralitas. Di atas pilar moralitas inilah peradaban Islam sedikit demi sedikit mulai dibangun. Nabi mula-mula membenahi pemikiran teologis warga kota, kemudian merambah ke aspek lain yang lebih riil seperti distribusi kekayaan dan pemerataan kemakmuran. Maka diperkenalkanlah konsep zakat, infaq, shodaqoh dan kaffarat, termasuk di dalamnya konsep  ghanimah, fay’ dan jizyah. (Jurnal Ulumul Qur’an, no V, th. 1993, 54.)
Jika makna jihad dalam Islam demikian adanya, lalu bagaimana status mereka yang jihad dengan bom bunuh diri? Marilah kita perhatikan firman Allah:
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
  “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (Al-Baqarah; 195).
Ayat ini jelas melarang tahlukah (menjatuhkan diri dalam kebinasaan). Sejauh ini, ada 5 penafsiran tentang makna tahlukah. Pertama, meninggalkan infaq; kedua, berperang dengan tanpa bekal; ketiga, meninggalkan jihad; keempat, putus asa dari rahmat Allah; dan kelima sengaja mati karena melawan pasukan tak sebanding. Tindakan bom bunuh diri (mughomaroh) dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan pasukan yang tak sebanding, sehingga masuk dalam jangkauan tindakan menceburkan diri ke dalam kebinasaan yang terlarang. (al-Jami’ li ahkamil Qur’an, II, 362; ahkamul Qur’an, I, 116).  
Di sisi lain, sasaran bom bunuh diri sifatnya acak sehingga tidak bisa mendeteksi mana muslim dan mana non muslim, mana yang halal dibunuh dan mana yang tidak. Maka dari aspek ini Islam jelas melarangnya. Ada beberapa kriteria orang yang haram dibunuh ketika jihad perang. Mereka adalah wanita, anak-anak, pendeta, orang berusia lanjut, pelayan, pedagang dan petani. Dengan demikian, tindakan bom bunuh diri hukumnya haram, dan bukanlah jihad yang dikonsepsikan ulama. (Nihayatul Muhtaj, XXVI, 409; Bada’iusshani’, XV,; al-Qurtubi, II, 344)
 Konsep jihad sesungguhnya konsep yang santun. Ia tidak membenarkan tindakan machiavellis (menghalalkan segala cara) untuk memetik sebuah kemenangan. Setiap akan berangkat ke medan laga, Rasulullah senantiasa mewanti-wanti agar  tidak merusak pohon dan memerangi orang-orang lemah seperti orang tua renta, perempuan dan anak-anak. Jika prinsip ini dilanggar, fiqh jinayat mengategorikan aksi teroris kedalam bingkai hirabah, yakni tindakan yang dapat mengancam harta ataupun jiwa orang lain. (al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy; Muqaranah bi al-Qonun al-Wadh’iy, I, 656-660)
Namun demikian, hanya berkonsentrasi untuk memerangi terorisme tanpa melihat tindakan lain yang menyebabkan teror itu muncul adalah salah, dan  hanya akan melahirkan kekerasan yang lebih parah. Jangan-jangan kita sedang memerangi diri sendiri. Ibaratnya, berperang melawan “musuh dalam cermin”, kita dibayang-bayangi kejahatan diri sendiri yang bisa jadi lebih jahat dari teroris.
Akhirnya, sebuah tatanan global yang mencerminkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan universal harus segera ditata. Menghentikan dominasi Barat, pemaksaan atas nama demokrasi, menciptakan kemakmuran bersama dan keadilan untuk semua harus lebih mendapatkan prioritas ketimbang berburu teroris.  Ini memang membutuhkan waktu yang relatif lama, tapi hasilnya akan lebih manusiawi dan relatif dapat menghadirkan kebahagiaan bersama. [eLFa]