Jumat, 05 Agustus 2011

Hal Yang Membatalkan Puasa

Dimuat di bulletin El-Wijhah Edisi XXV

Oleh: M. Rifa’i
Kategori: Analisa

Banyak orang-orang beranggapan bahwa puasa adalah hanya menahan dahaga, haus serta hal-hal yang membatalkannya. Anggapan tersebut memang benar, namun disamping itu perlu diketahui bahwa hal-hal yang membatalkan puasa dapat dilihat dari dua segi. Pertama, yaitu dari segi hakikat (yang membatalkan puasa itu sendiri), yaitu orang yang batal puasanya masih berkewajiban untuk meng-qodlo'nya. Hal-hal tersebut diantaranya :
- Menyengaja memasukkan sesuatu kedalam jauf (anggota tubuh yang mempunyai lubang). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ اَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ    )مُتَّفَقٌ عَلَيْه(
"Barang siapa lupa, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, lalu ia makan atau minum. Maka seyogyanya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah lah yang memberikan ia makan dan minum.  (HR. Muttafaqun 'alaih)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa seorang yang berpuasa, lalu ia makan atau minum dalam keadaan lupa maka puasanya tidak batal.
- Muntah  dengan sengaja.
- Bersenggama dengan sengaja.
- Mengeluarkan sperma dengan sengaja seperti onani dan masturbasi.
- Mengeluarkan darah haid.
- Nifas.
- Gila.
- Murtad (keluar dari agama islam).
Kedua, dilihat dari segi  hal yang membatalkan pahala puasa diantaranya ada sebuah hadits mengatakan:
خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ اَلْكِذْبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ
"Ada lima hal yang membatalkan puasa yaitu berbohong, ghibah, adu domba, sumpah palsu, melihat (sesuatu) dengan syahwat".
Hadits di  atas menjelaskan hal-hal yang membatalkan pahala puasa, dalam arti orang tersebut kelak tak akan mendapat apa-apa atas puasa yang ia lakukan melainkan, jadi hanya lapar serta haus yang ia peroleh. Rinciannya sebagai berikut :
1.  Berbohong (mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya).
          Terkadang seseorang  tak sadar sedang melakukan kebohongan, baik kecil maupun besar. Perbuatan tersebeut dilakukan sebab tidak dapat menjaga lisan dari perbuatan negatif. Ada sebait nadhom berbunyi :
اِحْفَظْ لِسَانَكَ وَاسْتَعِذْ مِنْ شَرِّهِ  ÷  اِنَّ اللِّسَانَ هُوَ الْعَدُو وَالذَّابِحُ
“Jagalah lisanmu dan minta perlindungalah (kepada Allah) dari kejelekannya. Sesungguhnya mulut adalah musuh yang dapat mencelakakan.”
Banyak orang-orang celaka sebab tak bisa menjaga lisan. Permusuhan dan perkelahian bahkan pembunuhan banyak terjadi karena seseorang tak dapat menjaga lisan dari perkataan-perkataan yang menyinggung perasaan orang lain. Allah menciptakan mulut adalah supaya dipergunakan untuk berdzikir, membaca Al Qur’an serta  memberi nasehat-nasehat yang bermanfaat bagi orang lain. Alangkah baiknya lisan  yang dipergunakan untuk hal-hal demikian. Lebih-lebih dibulan yang suci ini, dimana Allah akan melipat gandakan amal-amal kebaikan.
2. Ghibah (menceritakan kejelekan orang lain).
          Ghibah merupakan perbuatan yang sangat tercela. Sampai- sampai diibaratkan di dalam Al Qur’an  Surat Al Hujurat ayat 12, “bahwa orang-orang menceritakan kejelekan orang lain sama saja orang tersebut memakan daging saudaranya sendiri yang sudah menjadi bangka”i. Introspeksi diri lebih baik daripada membeberkan aib orang lain. Pepatah mengatakan “Gajah dipelupuk mata tak tampak, semut diseberang lautan tampak.”
3. Adu domba.
          Tujuan adu domba tidak lain adalah memecah belah orang-orang yang di adu domba. Perbutan ini diancam oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk itu  tidak akan masuk surga kecuali jika mendapat ampunan dari Allah.
4. Sumpah Palsu.
Di zaman sekarang memegang kejujuran bagaikan menggenggam bara api. Banyak pedagang-pedagang bersilat lidah demi merauk keunntungan yang besar. Cara demi cara dilakukan tidak peduli orang lain rugi dan tak mau tahu apa efek yang ditimbulkan, seperti mengurangi timbangan, mengatakan yang tidak sesuai kenyataan, bahkan ada pula yang sampai bersumpah demi keuntungan.
5. Melihat sesuatu dengat syahwat.
          Manusia merupakan makhluk yang diberi akal dan syahwat yang harus dijaga dari perbuatan-perbuatan negatif. Rasulullah pernah ditanya para Sahabat nabi mengenai jihad. “Wahai rasul jihad apakah yang paling berat? Lalu Rasulullah menjawab, jihad yang paling berat adalah jihad memerangi nafsu”. Meskipun berat tapi harus tetap diperangi dengan meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari nafsu yang mengajak kepada kemaksiatan.
Kelima hal tersebut dapat membatalkan pahala puasa. Sungguh kerugian besar bagi orang-orang yang berpuasa tapi masih melakukan kemaksiatan-kemaksiatan. Kelak tak akan mendapat apa-apa kecuali lapar dan haus. Semoga dengan ini kita mampu meraup berjuta-juta manisnya pahala di bulan Ramadhan. Amin.

Referensi : Syarah Bidayatul Hidayah





Kamis, 04 Agustus 2011

Ramadhan... Delima Rukyah Dan Hisab

Dimuat di bulletin El-Wijhah Edisi XIX
Oleh : Ikhwal
Kategori : Laporan Utama

Jujurlah  pada dirimu sendiri mengapa kamu selalu mengatakan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.
Apakah hanya menirukan nabi ataukah dosa-dosa dan harapanmu yang berlebihanlah yang menggerakkan lidahmu berucap begitu.
Ramadhan adalah bulan antara dirimu dan Tuhanmu, darimu hanya untuknya (ramadhan), dan dia sendiri tak ada yang tahu apa yang akan dianugerahkanya kepadamu, semua yang khusus untuknya, khusus untukmu.
Ramadhan adalah bulan-Nya yang diserahkan-Nya kepadamu, dan bulan, serahkanlah semata-mata hanya pada-Nya.
Bersucilah untuk-Nya, bershalatlah untuk-Nya, berpuasalah untuk-Nya, berjuanglah melawan dirimu sendiri untuk-Nya.
Penggalan puisi dari Gus Mus tersebut sedikit memproyeksikan bagaimana menyikapi bulan Ramadhan di mata manusia awam, karena memang sesungguhnya Ramadhan adalah bulan antara diri manusia dan penciptanya.
Puasa merupan amalan yang wajib dijalankan ketika  bulan Ramadhan, yaitu ibadah yang tidak dapat diketahui orang lain, selain diri  sendiri dan penciptanya.
Sebagaimana yang telah tersirat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ مَا شَاءَ اللَّهُ يَقُولُ اللَّهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
حاشية السندي على ابن ماجه -ج 3 / ص 411)
Artinya: “Tiap-tiap amal anak cucu adam, akan dilipatkan kebagusannya sepuluh kali  hingga sampai tujuh ratus kali lipat kebagusannya, sesuai apa yang dikehendaki Allah. Allah berfirman, kecuali puasa, maka sesungguhnya puasa tersebut untuk Aku, dan Akulah yang membalasnya”.
Pengenalan Ramadhan
Menurut arti etimologi Ramdhan berasal dari bahasa arab romidho yang berarti musim panas, karena bulan Ramadhan biasanya bertepatan dengan musim panas. Di Timur Tengah, para masyarakatnya biasanya menyambut bulan ramadhan dengan penuh keceriaan, hal tersebut diindikasikan dengan dihidupkannya lampu-lampu untuk menunjukkan bahwa bulan Ramadhan telah tiba.
Beda halnya dengan di Indonesia, biasanya masyarakat Indonesia menyambut bulan Ramadhan dengan pergi ke makam para ahli kuburnya untuk mendoakan agar dosa para ahli kubur tersebut diampuni. Lalu bagaimana mengetahui hari awal bulan Ramadhan? Untuk penetapan awal bulan Ramadhan harus melewati beberapa prosedur, yaitu harus ada wujud rukyah (melihat bulan) yang dilakukan oleh satu orang adil dan ada proses tazkiyyah (pembersihan) yang artinya dua orang yang menjadi saksi terhadap rukyah tersebut harus benar-benar adil, dan harus ada sidang  isbat (penetapan dari pemerintah) bahwa akan datangnya bulan Ramadhan. Sesuai dengan hadist yang berbunyi :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ
فتح الباري لابن حجر - (ج 6 / ص 148)
Artinya : “Berpuasalah kalian semua, karena terlihatnya hilal, dan janganlah berpuasa karena terlihatnya hilal dan apabila terhalang-halangi dengan mendung, maka jumlah hari bulan Sya’ban sampurnakanlah”.
Beberapa Kontroversi dalam Ramadhan
            Ketika  bulan Ramadhan, kebanyakan orang masih memperselisihkan tentang penetapan awal bulan dan rakaat dalam shalat tarawih, sampai-sampai terjadi perbedaan diantara umat Islam.
Mengenai penetapan awal bulan, menurut  Bapak Muhammad Naf’an, seorang staf pengajar di madrasah Qudsiyyah, beliau berpendapat bahwa penetapan awal Ramadhan itu memakai sistem rukyah dan hisab. Tetapi yang  diunggulkan adsalah sistem rukyahnya. Namun  ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa ketika bertentangan antara rukyah dan hisab, maka lebih diunggulkan rukyahnya, tapi seingat beliau qoul tersebut dhoif.  Jadi qoul dhoif tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum yang bersifat ibadah.
Menurut perspektif fiqih , ketika ada orang yang melihat hilal dan orang tersebut mempercayai bahwa itu memang benar-benar hilal, maka orang tersebut berkewajiban untuk untuk memulai puasa, tapi kalau sudah ada isbat (penetapan) dari pemerintah maka seluruh rakyatnya wajib mengikuti peraturan pemerintah.
            Sedangkan untuk shalat tarawih, menurut beliau pada aqidah ahlussunnah waljamaah, shalat tarawih itu dilakukan 20 rakaat dan sholat witir 3 rakaat jadi menjadi 23 rakaat. Untuk perdebatan masalah ini, pertentangan tersebut bersifat ijtihad (penetapan).
Melihat sejarah yang ada, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alai wasallam pernah melakukan shalat sunnah saat bulan Ramadhan di masjid, ternyata para Sahabat melihatnya, lalu berbondong-bondong mengikuti shalatnya  Rasulullah, dan memang pada waktu itu Rasulullah melakukan shalat tarawih 11 rakaat. Sehingga pada waktu selanjutnya Rasulullah melakukan shalat tarawih di rumah.
Maka dari itulah menilmbulkan kontroversi, apakah shalat terawih dilakukan 11 atau 23 rakaat, tapi yang jelas Rasulullah pada saat shalat di masjid menggunakan 11 rakaat. Dalam bebarapa hadist ditemukan kalau shalat tarawih dilakukan 23 rakaat, hal ini dapat dilihat dalam kitab kashfuttabareh karangan Mbah Fadhol Sanori.
Sehingga pada waktu sayyidina Abu Bakar belum di legal formalkan, shalat tarawih dilakukan sendiri-sendiri dalam arti belum ada penetapan mengenai rakaat shalat tarawih. Sedangkan pada waktu sayyidina Umar menjadi khalifah, beliau memerintahkan seorang ahlu qurro’ untuk melakukan shalat tarawih di masjid dengan 23 rakaat.
Oleh sebab itu di dalam permasalahan ini dikategorikan sebagai bid’ah, tapi bukan bid’ah dholalah melainkan bid’ah syar’i , sebab bid’ah yang satu ini merupakan bid’ah yang boleh dilakukan.
Hal-hal yang dikira Membatalkan Puasa
            Dalam kasus ini, hal yang dikira membatalkan puasa ternyata tidak membatalkan puasa dan sebaliknya, adalah seperti menggunakan obat mata atau meneteskan obat mata, hal itu ternyata tidak membatalkan puasa. Walaupun rasa obat mata tersebut sampai ke dalam tenggorokan, dikarenakan mata tidak dikategorikan manfat (jalan dalam anggota tubuh yang bisa menerus).
Dan jika flashback kembali ke masa kecil, biasanya orang-orang menganggap kalau maqmadhoh (berkumur) dan ishtinshak (menyedot air ke lubang hidung) membatalkan puasa. Sebenarnya jika selama tidak mubalaghoh (menyerukan) maka tidak membatalkan puasa, walau ada air yang masuk dikarenakan adanya qoidah fiqhiyah الرِّضَى بِالشّيئ رِضَا بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ .
Misteri di balik datangnya bulan yang penuh berkah tersebut memang luar biasa, dan merupakan anugerah dari yang Maha Esa kepada ciptaannya, supaya dapat lebih meningkatkan ketaqwaan. Sebagai ciptaan dari yang Maha menghidupkan dan mematikan, seharusnya bukan hanya menghormati akan datangnya bulan tersebut dengan istirahat maksiat sementara, tapi alangkah baiknya jika terus berlatih untuk meninggalkan maksiat, dan berusaha untuk lebih dapat bertaqwa kepada Ilahi robbi.

Jumat, 29 Juli 2011

Just For You El-Wijhah

 
EL WIJHAH TERBANG BERSAMA RAMADHAN
Oleh: Yahya Ubaidillah (XI D)

Dimuat di bulletin El-Wijhah Edisi XXV

eloknya dirimu menyejukkan hati yang gundah
limpahan ampunan dan rahmat terbuka jua
wujudkan kebaikan hilangkan nafsu amarah
indahnya cahayamu seperti la’lau siraaj
jauhkan kegelapan dari gubuk-gubuk yang sunyi
hiasi hati, hindari panasnya hell glow
ajrus shiyam member syafaat itu suatu simbol
haturkan pertolongan pada sang pemberi allowance

Hukum Implan Silikon


Buletin El-Fajr Edisi VI (Ma’had Qudsiyyah)
Mendengar, Memahami dan Memberi Solusi
-----------------------------

Hidup di zaman modern memang gampang-gampang sulit. Berbagai jenis teknologi mampu menguasai dunia. Begitu cepat zaman berubah, dari zaman era sandal jepit kini menjadi era komputer, era telephon ataupun era robot sehingga sangat membantu manusia dalam menjinakkan masalah yang dihadapi manusia.
Belum lama ini, teknologi telah menawarkan alat mutakhir dalam bidang kedokteran yang dapat mengubah atau memperindah tubuh seseorang dengan cara operasi. Seperti operasi khusus mempercantik wajah agar lebih sedap dipandang, operasi selaput dara untuk mengembalikan keperawanan, operasi ganti kelamin, dan semacamnya.
Tidak sedikit orang yang sukses menjalankan operasi. Katakanlah, Malinda Dee, seorang penggelap uang milyaran rupiah, sukses dengan silikon di dalam payudaranya, Dewi Persik, baru-baru ini diberitakan operasi selaput dara. Entahlah apa motifnya, mungkin  agar bisa tampil dengan casing baru, atau dengan alasan-alasan lain. Dan ternyata masih banyak contoh lain. Yang jelas, motif mereka untuk melakukan hal itu tentu berbeda-beda, sesuai dengan yang mereka butuhkan.
Maka dari itu, bagaimana fiqh menanggapi fenomena ini?
Sebelumnya kita bisa berangkat dari sebuah ayat:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Dan aku (setan) benar-benar akan menyesatkan mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong mereka dan akan menyuruh mereka (memotong teliga-telinga binatang ternak) lalu mereka benar-benar memotongnya dan aku akan perintah mereka (mengubah ciptaan Allah) lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barang siapa menjadikan setan pelindung selain Allah maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.(QS. an-Nisa': 119)

Kita bisa petik dari cuplikan ayat tadi sebuah kalimat falayughayyirunna khalqallah. Ada dua tafsiran mengenai kalimat tadi. Pertama, mengubah ciptaan Allah, artinya mengubah agama (ad-din) Allah. Bisa jadi mengubah agama Allah di sini adalah perubahan agama secara total, atau dalam arti ganti kelir (murtad), atau juga diartikan menghalalkan barang haram dan sebaliknya mengharamkan barang halal. Jika berangkat dari tafsiran ini –khalqullah diartikan diinullah--jelas tidak akan ada hubungannya dengan pembahasan ini.
Sedang tafsiran yang kedua ialah, mengubah ciptaan Allah berupa anggota luar tubuh manusia atau sifat-sifat dasar manusia seperti mengebiri, membutakan mata dan memotong telinga.(Tafsir an-Naisaaburiy, III, 79, al-Bahr al-Mukhith, IV, 282)
Dari sinilah kita mulai pembahasan. Banyak ulama-ulama yang mengutarakan pendapatnya tentang taghayyur ini. Salah satunya ialah Abu Ja'far at-Thabari. Ia mengatakan bahwa tidak boleh mengubah suatu yang diciptakan Allah pada seseorang dengan menambah atau mengurangi. Contoh, jika ada seseorang yang mempunyai anggota tubuh yang lebih banyak dari normalnya maka dia tidak diperbolehkan memotongnya, karena termasuk taghyiiru khalqillah (mengubah ciptaan Allah). Atau juga dia mempunyai gigi yang terlalu panjang maka tidak boleh memendekkannya. Tapi al-Qadli 'Iyadl menambahi bahwa pemotongan tersebut hukumnya boleh jika kelebihan anggota tadi membebani padanya. Juga ada yang mengatakan bahwa taghyir di sini bukanlah mengubah yang bersifat selamanya. Apabila perubahan itu bersifat sementara seperti eyeliner (celak) atau kosmetik lain maka diperbolehkan menurut Imam Malik dan ulama-ulama lain. (Nailul Author, X, 156)
Dalam kitab Fatawa al-Azhar diceritakan, seseorang mempunyai anak yang di tangannya ada jari tambahan. Dia membiarkannya sampai usia 5 tahun. Pada saat itu dia melihat anaknya dicemooh oleh teman-temannya. Karena tangannya yang tidak normal. Lalu dia menanyakannya, apakah jika aku memotong jari itu hukumnya haram? Jawabannya tidak. Karena menghilangkan semacam jari atau gigi tambahan itu bukan termasuk taghyir yang diterangakan ayat tadi melainkan yang dimaksud adalah taghyir yang bermotif memperindah atau mempercantik ciptaan Allah. (Fatawa al-Azhar, X, 268)     
Lalu bagaimana dengan Hadits Nabi yang melarang membuat tato dan menyambung rambut?
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
Allah melaknati perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan rambutnya dan perempuan pembuat tato dan yang minta dibuatkan tato.(HR. Imam Bukhari. Hadits Shahih)
Hadits ini sudah jelas melarang orang yang memasang rambut dan membuat tato. Jelas di dalamnya ada bentuk taghyir dalam mengubah warna kulit. Adapun menyambung rambut bukan termasuk taghyir. Tetapi di dalamnya ada komponen berupa tadlis (pemalsuan) dan gharar (penipuan). Perbuatan ini juga bisa menarik ke perbuatan zina. Hal ini kelihatan indah, tapi kenyataanya, tidak seindah dlahirnya. Bagai buah kedondong, kulitnya mulus, namun isinya berduri.
Ada juga lho, perubahan yang tidak termasuk dalam taghyir (diperbolehkan oleh Allah secara nash), yaitu khitan, memotong rambut, memotong kuku, dan pelubangan telinga bagi wanita. perubahan ini diperbolehkan karena memiliki faedah tersendiri. Yang pertama khitan yang berfaedah di bidang kedokteran, yaitu mengantisipasi datangnya penyakit yang disebabkan berkumpulnya kotoran-kotoran atau najis-najis di khasyafah (kulup), mengurangi syahwat, dll.
Sedangkan memotong rambut untuk mengurangi resiko bahaya dan penyakit. Dan memotong kuku agar memudahkan pekerjaan yang menggunakan tangan. Misalnya mengangkat benda-benda, maka akan menjadi sulit jika di jarinya tumbuh kuku yang panjang. Faedah potong kuku yang lain ialah merupakan salah satu upaya menghindari penyakit. Dan pelubangan telinga untuk wanita yang dipergunakan sebagai pemasangan anting dan berhias. (at-Tahrir Wa at-Tanwir, IV, 258)    
Ada pengecualian dalam taghyir, yaitu jika taghyir tersebut bertujuan untuk pengobatan suatu penyakit, maka hukumnya tidak haram. (Nailul Author, X, 156)
Sekarang bagaimana dengan pemasangan silikon?
Silikon adalah polimer non organik yang bervariasi, dari cairan, gel, karet, hingga sejenis plastik keras. Beberapa karakteristik silikon antara lain tak berbau, tak berwarna, kedap air serta tak rusak akibat bahan kimia dan proses oksidasi, tahan dalam suhu tinggi serta tidak dapat meghantarkan listrik. Dalm dunia kedokteran modern, silikon dikategorikan sebagai bahan terbaik untuk melakukan perbaikan bagian tubuh, karena penolakan jaringan tubuh terhadap silikon tergolong rendah.
Pemasangan silikon, baik di hidung, bibir, payudara, atau anggota tubuh lain termasuk dalam kategori taghyir. Karena itu hukumnya diharamkan jika memang hanya diniatkan untuk membuat tambahnya sensualitas tubuh. Sedang jika memiliki tujuan lain seperti yang tersurat di atas, maka diperbolehkan.
Jadi, hukum taghyir tersebut tergantung dengan tujuan si pelakunya. Jika taghyir tersebut bertujuan untuk hal yang berfaedah seperti halnya pengobatan atau mengembalikan ciptaan Allah ke normalnya maka hal itu diperbolehkan. Tapi jika hanya untuk memoles tubuh saja agar bisa dipamerkan maka itu tidak diperbolehkan. Apalagi sampai mengubah fitrah manusia, yang asalnya perempuan diubah menjadi laki-laki, atau sebaliknya, laki-laki diubah menjadi perempuan. [eLFa]

Gratifikasi, Hibah atau Suap?


Buletin El-Fajr Edisi V (Ma’had Qudsiyyah)
Mendengar, Memahami dan Memberi Solusi
-----------------------------

Pada beberapa hari terakhir ini, kita mungkin terus mengelus dada setiap kali membaca , mendengarkan atau menonton berita yang ditayangkan di berbagai media. Bagaimana tidak? setiap hari atau mungkin setiap kali acara berita, selalu muncul berita tentang kasus suap.
Ya, kata-kata suap sekarang memang seakan tidak lagi tabu untuk diperbincangkan dan didengarkan. Penyebabnya?, tentu saja karena mungkin kasus ini sudah terlalu sering terjadi di negeri ini, bahkan mungkin sudah merebak dimana-mana, dalam berbagai jabatan, dan tingkatan.
            Nama-nama seperti SBY, Mahfud MD ataupun Nazaruddin memang sering muncul dalam pemberitaan akhir-akhir ini, bahkan seringkali menjadi hot news dan headline di berbagai media. Selain itu kasus inipun menyita perhatian khalayak ramai di seantero negeri. Dan inti pemberitaannya hanya satu, dan itu lagi-lagi  dugaan suap.
            Pada kasus terakhir ini, peran aktor utama tertuju pada M. Nazaruddin, seorang anggota Komisi X DPR RI, yang diduga  melakukan korupsi dana pembangunan asrama atlet SEA Games XXVI di Palembang. Selain itu untuk mengamankan kasus korupsinya ia kembali diduga melakukan aksi suap terhadap sekretaris menpora, Wafid ... dan sekjen MK, Janedri M. Gaffar.(Jawa Pos, Senin, 23 Mei 2011)
       Pada edisi kali ini, kita hanya akan menyorot kasus ‘dugaan suap’ tersebut beserta pandangan islam terhadap masalah ini.
Mari kita bahas dengan seksama!!!
Bila kita amati sekilas, kasus Nazaruddin ini bisa digolongkan sebagai salah satu dari : suap, hibah, hadiah dan shodaqoh.
Suap sendiri berarti uang sogok, sedangkan gratifikasi berarti uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Di lain sisi, fiqh klasik mengartikan shodaqoh sebagai pemberian yang bertujuan mendapat pahala. Sementara pemberian yang dimaksudkan penghargaan dan penghormatan atas prestasi seseorang disebut hadiah (baik bertujuan  mendapat pahala atau tidak). Dan hibah berarti pemberian seseorang yang bersifat umum. Shodaqoh dan hadiah juga bisa digolongkan sebagai hibah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hasyiyah al-Jamal, V, 60, Raudlatu at-Talibin, II, 270)
Imam Ghazali berpendapat dalam kitab Ihya’nya bahwa jika harta tersebut diniatkan karena tujuan akhirat maka disebut shodaqoh. Jika diniatkan dengan tujuan dunia maka ada kalanya berupa harta disebut hibah, dengan catatan, bahwa dia melakukan tersebut karena ingin mendapatkan sesuatu atau ‘udang di balik batu’. Dan ada kalanya berupa amal perbuatan. Jika amal tersebut perbuatan haram atau kewajiban tertentu maka disebut risywah (suap). Dan jika perbuatan jaiz (mubah) maka ijaroh (sewa) atau ju’alah (sayembara) dan adakalanya untuk taqorrub (lebih dekat) kepada yang diberi. Apabila atas dirinya sendiri maka hadiah. Apabila karena kehormatannya ada dua jika penghormatan karena ilmu atau nasab maka juga disebut hadiah. Apabila karena keputusan atau perbuatan (timbal balik) maka disebut risywah. (Raudlatu at-Thalibiin Wa ‘Umdah al-Muftiin, IV, 132).
Suatu pemberian tersebut (hibah) juga mempunyai syarat dan rukun yaitu shighot, aqid dan barang yang diberikan  dengan ketentuan-ketentuan seperti akad jual beli.
Dalam literatur klasik tidak ditemukan tentang konsep gratifikasi, yang ada hanyalah  hibah, hadiah, shodaqoh dan suap (yang diasumsikan sebagai risywah). Namun, gratifikasi sendiri pada hakikatnya juga merupakan hibah.
Sedangkan pengertian risywah adalah menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang (hakim/selain hakim), agar memberi sebuah keputusan secara tidak benar sesuai dengan kehendak si pemberi demi kepentingan individu, kelompok, maupun golongan lain. Adapun hukum memberikan uang risywah tersebut adalah tidak boleh (haram). (Asna al-Mathallib, XXII, 203, Fatawa as-Subkiy, I, 604-605).
Bahkan dalam hadits disebutkan:
لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم . رواه ابن حبان وغيره وصححه
Artinya: Allah melaknati orang yang meyuap dan yang disuap yang banyak terjadi pada masalah hukum. (Asna al-Mathallib, XXII, 203)

Walaupun ada pula suap yang diperbolehkan yaitu jika suap tersebut dimaksudkan untuk hal yang baik. Seperti memberi suap agar menghukumi dengan adil. Maka hokum memberi suapnya boleh, tetapi hokum menerima suap tersebut haram. (Hasyiyah al-Jamal, XXIII, 140)
Kasus yang menarik ini juga mendapat berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Ketua MK, Mahfud MD ketika ditanya oleh seorang wartawan tentang pendapatnya terhadap kasus ini dan mengapa ia tidak melaporkan kasus dugaan suap yang melibatkan anak buahnya ini ke KPK, ia menjawab bahwa hal ini hanya sebuah gratifikasi dan sekedar pelanggaran etika. Ia juga berpendapat bahwa kasus ini bukan merupakan suap karena memang belum ada bukti kuat yang mengarah kesitu (suap). Ia berpendapat seperti itu karena memang hingga saat ini kasus korupsi yang dilakukan oleh Nazaruddin belum terbukti, sehingga ia hanya melaporkannya pada SBY, selaku pembina Partai Demokrat-partai yang meloloskan Nazaruddin sebagai anggota DPR. Namun tak bisa diingkari bahwa memang ada indikasi suap pada kasus ini.
Selain itu, ia juga beralasan bahwa bila kasus ini dibawa ke KPK, tidak ada tindak lanjutnya dan hanya muncul perdebatan apakah uang gratifikasi itu boleh diambil atau tidak, dan kasus ini akan menguap dengan sendirinya oleh persoalan-persoalan yang akan muncul di kemudian hari. (www.republika.co.id)
Namun hal ini ditentang oleh Ruhut Sitompul, rekan separtai Nazaruddin. Ia menyatakan bahwa ia menyesalkan tindakan Mahfud MD yang melaporkan kasus ini kepada SBY bukan pada KPK. Menurutnya kasus ini sudah merambah pada ranah hukum dan bukan hanya sebagai pelanggaran etika.
Dalam kasus ini memang agak sulit dibedakan apakah  termasuk gratifikasi ataukah suap. Dalam keputusan Munas ‘alim ‘ ulama’ NU tahun 2002 sudah dijelaskan  bila terjadi kasus seperti ini. Pada rumusannya disebutkan bahwa boleh memberikan uang kepada orang yang sudah biasa diberi tapi dalam jumlah kecil dan tidak lebih besar (melebihi) apa yang diperbuatnya. Dalam hal hibah atau hadiah yang diberikan oleh orang yang sebelumnya sudah biasa memberi dan jumlahnya pun tidak lebih besar dari biasanya, maka hukumnya mubah (boleh), karena hal tersebut masuk dalam konteks hibah (Keputusan Munas 2002)
Pada akhirnya, ‘menurut pandangan Islam’ kasus itu memang kembali pada Nazaruddin secara pribadi, apakah uang itu dimaksudkan sebagai hibah ataukah suap.  Jika Nazaruddin bermaksud untuk mempunyai keinginan tertentu, baik kepentingan pribadi (individu), kelompok, maupun orang lain maka bisa juga berubah menjadi risywah (sogok/suap). Namun pada kasus ini memang ada indikasi ke arah suap.
Setelah mengetahui hukum suap tadi, maka mari bersama-sama kita berantas segala bentuk suap dan korupsi yang merupakan perampasan hak-hak rakyat. Penyakit ini seakan sudah menjadi suatu akar berbagai persoalan bangsa. Maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mencegah perbuatan ini semakin berkembang dengan cara menghindarkan diri dan generasi muda dari perbuatan-perbuatan ini.




      



Masuk Warnet, Jangan Maksiat!


Buletin El-Fajr Edisi IV (Ma’had Qudsiyyah)
Mendengar, Memahami dan Memberi Solusi
-----------------------------

Masih ingat salah seorang anggota DPR RI yang tertangkap basah nonton video porno saat sidang paripurna di Jakarta 8 April lalu. Kejadian ini menggegerkan warga yang berakhir dengan pengundurkan dirinya dari kursi legislatif. Nah, itulah salah satu kasus dari dampak negatif teknologi. Kita dapat melihat, teknologi sekarang ini sudah sangat maju di belahan dunia manapun. Sehingga, dunia ini bagai tanpa sekat, lebih-lebih bila internet menghubungkannya.
Internet merupakan sebuah sistem komunikasi global yang menghubungkan komputer dan jaringannya di seluruh dunia. Jika kita amati, internet mengandung beberapa hal. Misalnya hal-hal yang positif seperti sebagai media pendidikan, dakwah, dan lain sebagainya. Selain itu ada juga hal-hal negatif, seperti dipergunakan untuk menonton film atau gambar-gambar pornografi.
Pada dasarnya menonton pornografi dapat membangkitkan syahwat. Dalam ushul fiqh hal ini masuk dalam konsep sadd al dzari’ah (menutup jalan yang bisa mengarah pada kerusakan). Sehingga secara umum menonton pornografi hukumnya haram. Keharaman ini karena perbuatan tersebut diduga kuat mengandung mafsadah. Orang yang menonton pornografi ini diduga kuat selalu bangkit syahwatnya yang seringkali mengakibatkan timbulnya perzinahan yang dilarang dalam Islam. (Ushul Fiqh Abu Zahroh, 291)
Dalam kondisi tertentu, perbuatan ini memang diperbolehkan jika ada keperluan syar’i, yakni keperluan yang dibenarkan secara syariat. Misalnya pihak berwenang (polisi dan hakim) diperbolehkan melihat pornografi saat melakukan pemeriksaan dan penyidikan. Juga, dibenarkan dalam fiqh, laki-laki melihat aurat perempuan ketika ada hajat. Seperti dalam hal pengobatan, persaksian zina, persaksian kelahiran, dan persaksian penyusuan. Bahkan dalam persaksian zina dan persaksian kelahiran diperbolehkan melihat kemaluan wanita yang bersangkutan. (Raudhah al Thalibin, II, 458)
Internet sendiri, penggunaannya semakin meluas, mulai dari anak di bawah umur sampai orang dewasa, bahkan orang tua. Tidak heran jika hal ini menjadi peluang usaha yang cukup menjanjikan. Semakin banyak orang yang membutukan internet, maka warnet (warung internet) pun semakin menjamur.
Pada dasarnya warnet  disediakan untuk membantu menjelajahi dunia maya, sedang apa yang ada di dunia maya tersebut ada yang baik dan ada yang buruk, ada maslahat dan ada pula maksiyat. Demikian pula si pengguna warnet, mereka tidak hanya orang-orang yang baik dengan niat baik, tapi ada pula orang-orang yang berniat tidak baik. Lantas bagaimana fiqh memotret fenomena ini?
Dimulai dari transaksi penggunaan warnet, dalam literatur fiqh, transaksi ini masuk dalam kategori akad ijârah (sewa). Pengertiannya, ijârah adalah memberikan kemanfaatan dengan menerima ganti/upah dan dengan syarat-syarat tertentu. (Fathul Mu’in, III, 129, Hâsyiyah al-Jamal, XIV, 308)
Adapun syarat-syarat tersebut, Pertama, barang/jasa yang disewakan harus diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ini berupa layanan jasa internet bagi user (pengguna). Kedua, biaya/upahnya harus transparan. Tarif penggunaan internet harus transparan, yaitu biaya perjamnya sudah ditentukan dan dihitung berdasarkan durasi waktu yang ada. Dan yang terakhir, rentang waktu pemanfaatan barang yang disewakan harus jelas (diketahui oleh kedua belah pihak) karena waktu ditunjukkan oleh mesin penghitung maka keduanya sama-sama mengetahui tentang waktu pemakaianya (Tuhfatul Fuqahâ’, II, 347)
Selain itu, ijârah memiliki beberapa rukun yaitu shighat, ujrah, manfaat dan ‘aqid. Shighat adalah ijab qabul. Bentuk shighat secara umum memang harus melalui lisan tapi bisa juga menggunakan isyarat, tulisan atau kebiasaaan yang sudah dimaklumi oleh kedua belah pihak (Asna al-Mathallib, XII, 77). Rukun yang pertama kiranya sudah terpenuhi karena ketika operator warnet menyediakan warnetnya, berarti sudah menyatakan warnetnya ini disewakan. Kemudian dari pihak user, dirinya masuk ke dalam warnet dan menggunakan, disertai dengan mengetahui besar biaya pembayarannya, menunjukkan bahwa dia setuju dengan penyewaan itu.
Kedua, ujrah (upah/biaya sewa) disyaratkan harus diketahui oleh keduanya juga (Raudlatu at-Thalibin, II, 206). Ketiga, adanya manfaat (kegunaan benda yang disewakan). Adapun syarat dari pemanfaatan barang tersebut harus merupakan barang yang bernilai, tidak habis ‘ain-nya (bendanya) bila dipakai, dan manfaatnya harus sampai kepada penyewa. (Raudlatu at-Thalibin, II, 207-208). Keempat yaitu aqid, meliputi mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa). Keduanya harus berakal dan baligh. Jadi kesimpulannya, mu’jir dan musta’jir tidaklah boleh orang yang tidak berakal seperti orang gila dan tidak pula orang yang belum baligh seperti anak kecil.(Raudlatu at-Thalibin, II, 206) 
Kemudian bagaimana hukum menyewakan warnet tersebut, padahal ada potensi digunakan untuk kemaksiatan? Begini, jika pemilik berkeyakinan atau mempunyai dugaan kuat akan digunakan untuk kemaksiatan, maka haram menyewakannya. Tapi jika operator warnet masih syak (ragu) akan digunakannya untuk proses kemaksiatan, maka makruh hukumnya, tapi kalau telah diketahui sudah banyak terjadi kemaksiatan maka hukumnya berubah menjadi haram secara mutlak dikarenakan saddan lidz dzarâi’ (mencegah sebelum terjadi). (Bughyatul Mustarsyidin, 126).
Selanjutnya, bagaiman hukum operator warnet mengawasi para user untuk memastikan adanya kemaksiatan di dalam bilik warnet? Mengenai ini, hukumnya di-tafshil (dirinci). Jika  operator warnet meyakini atau menduga kuat bahwa ada unsur kemaksiatan, maka wajib untuk mengawasi dan mengingatkan konsumen untuk tidak melakukan hal tersebut seperti melakukan perbuatan mesum atau menonton film berbau porno. Ini dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Namun, bila tidak diyakini atau diduga kuat, maka operator warnet tidak diperkenankan memantau para konsumen. Hal ini didasarkan pada belum jelasnya kemungkaran yang terjadi di dalam warnet. Dan bisa-bisa ini akan menimbulkan tajassus (membahas dan meneliti aib orang lain). (Sulam at-Taufiq, 79, Bughyatul Mustarsyidin, 250; I’anatu at-Thalibin, IV, 308; Ihya’ Ulum ad-Din, IV, 389; Al Bajuriy Ala Ibnil Qasim Al Ghaziy, II, 04).
Nah, kalau sudah diketahui terjadi kemaksiatan, lalu apakah si pemilik warnet ikut bertanggung jawab, padahal dia belum tentu tahu tentang adanya kemaksiatan tersebut? Memang, kemaksiatan di negeri ini cocok dengan kata pepatah “mati satu tumbuh seribu”. Satu tumbuh, dibasmi, tumbuh lagi, dibasmi, tumbuh lagi. Di saat seperti ini, gimana enggak membuat gerah si pemilik warnet? Secara moral, seharusnya  pemilik warnet ikut bertanggung jawab atas semua kelakuan user di warnet miliknya baik itu berupa kelakuan baik maupun tercela. Di sisi lain, kita sebagai konsumen, jangan hanya menyalahkan penyediaan warnet ini. Tetapi yang perlu kita lakukan adalah ikut menjaga kenyamanan dan keamanan di dalam warnet, bukan malah menambah angka kemaksiatan.
Pemilik warnet pun jangan hanya berpangku tangan atau malah acuh tak acuh terhadap maraknya kemaksiatan di warnet miliknya. Apalagi pemilik warnet malah menganggap hal itu sebagai wahana untuk mengeruk keuntungan yang berlipat ganda dengan memfasilitasi user untuk melakukan kemaksiatan, misalnya dengan memberikan bilik yang tertutup rapat sehingga memberikan kesempatan user tanpa malu-malu melakukan kemaksiatan. Jika kemaksiatan di warnet ini dibiarkan, pastinya akan semakin mengakar dan semakin marak.
Sebaiknya sikap yang harus diambil oleh si pemilik warnet adalah senantiasa mengawasi konsumennya. Pencegahan ini tidak harus dengan peniadaan bilik sama sekali, karena bilik juga penting untuk menjaga privasi konsumen itu. Paling tidak, bilik yang dipasang tidak tertutup rapat dan masih memungkinkan bagi penjaga warnet untuk mengontrol dari luar. Penjagaan juga bisa dengan pemasangan CCTV (Closed Circuit Television) di dalam ruangan warnet. Cara ini dianggap ampuh, karena si pemilik bisa mengawasi seluruh isi warnet tanpa harus mengganggu privasi konsumen. Atau bisa juga dengan pemberian software anti-pornografi pada setiap website-website yang dibuka konsumen. Dengan begini kenakalan konsumen yang sering membuka situs-situs porno bisa diminimalisasi. Bukankah lebih baik mendapatkan untung dari sesuatu yang halal dari pada untung banyak tapi dari hasil yang haram? [eLFa]